8

5.2K 545 27
                                    

Happy Reading!

"Rugi saya kalau begini. Masa sarapannya cuma roti dan telur."Anton mengatakan itu sambil menyetir.

"Sembarangan! Ini itu burger, pak Anton."sahut Diandra kesal. Keduanya sudah sepakat untuk tidak membahas kejadian tadi malam atau lebih tepatnya keduanya tidak menemukan cara untuk canggung karena sejak tadi pagi sudah memiliki alasan untuk berdebat.

"Hanya karena ada telur di dalam roti, itu tidak menjadi alasan kuat untuk disebut burger."balas Anton tak mau kalah.

"Kan ada tomat juga sama timun, bapak nggak lihat? Sebenarnya ada daging juga tapi cuma satu ya udah buat saya, bapak cuma kebagian telurnya doang."Diandra mengatakan itu sambil menyemprot parfum ke tubuhnya.

Anton melirik sinis lalu segera menghentikan mobilnya.

"Lah kok berhenti?"tanya Diandra bingung.

Anton menyeringai."Karena kamu tidak menyiapkan sarapan dengan benar, jadi tumpangannya juga setengah jalan. Kalau mau sampai tujuan harus bayar."Anton mengatakan itu dengan santai membuat Diandra melotot.

'Awas aja ya, pak Anton."batin Diandra lalu tersenyum.

"Nanti malam saya janji deh buatin makanan yang enak. Ada sayur dan daging. Pokoknya lengkap deh."bujuk Diandra membuat Anton menautkan alisnya.

"Yang bener?"

"Sumpah deh, pak."Diandra mengangkat kedua jarinya tanda bahwa ia tak berbohong.

Anton mengangguk."Baiklah."setelah itu kembali melajukan mobilnya.

"Huuh aman."gumam Diandra pelan.

Begitu tiba di kantor, keduanya mulai bersikap profesional. Anton adalah pemimpin yang sangat baik, bertanggung jawab dan juga menginspirasi. Minusnya cuma pelit (Kalau yang satu ini jangan diikuti, hemat boleh tapi pelit jangan. Apalagi kalau pelit untuk diri sendiri). Sedang Diandra adalah sekretaris yang bisa diandalkan meski sedikit boros (Yang ini juga jangan diikuti, meski boros untuk diri sendiri), cara kerjanya cepat dan sering mengusulkan ide-ide hebat. Jikapun bertengkar itu pasti bukan karen pekerjaan. Karena jika tentang pekerjaan, Anton dan Diandra adalah kombinasi yang pas. Tidak ada berdebatan karena keduanya tahu cara menghargai pendapat dan juga tak suka meremehkan saran walau itu tentang hal sekecil apapun.

"Kopi, pak."ucap Diandra lalu meletakkan segelas kopi di atas meja pak Anton.

Anton mendongak lalu mengangguk. "Tumben."cibirnya namun tetap meminum kopi buatan Diandra.

"Karena bapak pasti lelah."sahut Diandra lalu berbalik ke mejanya. Hari ini sudah ada tiga rapat yang mereka hadiri dan rasanya benar-benar melelahkan. Ia saja merasa begitu lelah walau hanya duduk dan membantu seperlunya. Tapi pak Anton, pria itu benar-benar terlibat dalam segala hal. Tentu saja tugas sebagai pimpinan sama sekali tidak mudah.

Diandra mengambil sebuah berkas lalu membukanya.

"Istirahat saja! Kita juga sudah melewatkan makan siang."ucap Anton membuat Diandra menatap atasannya itu.

"Bapak mau saya pesankan makanan?"tawar Diandra.

Anton menggeleng lalu berdiri."Kita makan di luar saja."

Diandra mengangguk lalu berdiri."Kira-kira restoran mana yang ada diskon?"tanya Diandra membuat Anton menggeleng.

"Kali ini tidak ada diskon,"sahut Anton membuat Diandra tersenyum. Akhirnya pak Anton mengajaknya makan di luar tanpa menunggu ada diskon dulu."Kita ke gedung Biru, hari ini ada undangan pernikahan. Meski sudah sangat terlambat tapi pasti masih ada makanan."

Deg

Wajah Diandra langsung berubah masam."Yang benar aja dong, pak."keluh Diandra.

"Ck! Mau ikut atau tidak?"tanya Anton kesal.

"Iya, saya ikut. Tapi bapak bawa amplop kan atau hadiah gitu? Masa ke kondangan nggak bawa apa-apa."

Anton menggeleng."Kan ini sudah jam dua, pestanya sudah bubar jadi tidak perlu ada amplop. Lagipula yang nikah salah satu karyawan kita jadi dari perusahaan pasti sudah memberikan kado."

Diandra berdecak."Pelit banget."cibirnya.

Anton segera menekan tombol lift.

"Memang yang nikah siapa, pak?"tanya Diandra lalu ikut masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.

"Tidak tahu. Saya cuma lihat sekilas dan ingat tanggalnya."sahut Anton lalu menekan tombol lift menuju lantai paling bawah.

Begitu tiba di area parkir, Diandra langsung masuk ke dalam mobil sedang pak Anton masih menelpon di luar.

"Siapa, pak?"tanya Diandra begitu Anton masuk ke dalam mobil.

"Mama."sahut Anton lalu memasang sabuk pengaman.

"Oh ya, minggu depan teman saya nikah. Kebetulan banget kan kalau bapak mau makan gratis."Diandra memulai pembicaraan begitu mobil melaju.

"Siapa?"tanya Anton tertarik.

"Hannah, undangannya juga sudah saya taruh di atas meja bapak."

Anton mengangguk."Kita pergi bareng nanti."

Diandra menggeleng."Ya nggak bisa dong, pak. Saya kan jadi bridesmaid."

"Jadi apa?"tanya Anton bingung.

"Bridesmaid, pengiring pengantin."jelas Diandra sabar.

"Oh bagus dong. Nanti bawa tupperware buat ngangkut rendang. Lumayan untuk makan kita berdua."

Diandra langsung melotot."Ya malu dong, pak."

Anton melirik sekilas ke arah Diandra."Kok malu sih? Pikirin itu perut, bukannya malu."

"Dih.. Tapi saya nggak punya tupperware."ucap Diandra ikut konslet.

"Di rumah mama sepertinya ada, kita ambil di sana saja."

Diandra menggeleng."Kenapa tidak beli saja."

"Mahal. Lagipula di rumah mama juga pasti ada daging, bisa sekalian dibawa pulang."

Diandra melongo. Ingin bilang pak Anton bercanda tapi wajah pria itu serius sekali.

"Oke deh, pak."sahut Diandra akhirnya dan selang beberapa menit mereka tiba di gedung Biru.

Diandra dan Anton segera keluar dari mobil.

"Kok sepi ya, pak?"tanya Diandra bingung.

Anton hanya menggeleng tanda tak tahu lalu bertanya pada seorang pria tua yang menyapu halaman gedung.

"Oh acaranya sudah selesai."

"Apa?"kaget Anton dan Diandra.

Bersambung

Bos Pelit dan Sekretaris BorosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang