11. Cerita Singkat

158 26 5
                                    

Happy reading📖

°°°°°°

Gibran tersenyum tipis melihat anak-anak itu berlari. Beberapa dari mereka duduk bersamanya untuk sekedar bercerita diatas kardus yang di gunakan sebagai alas.

Saat ini, ia berada di bawah jembatan, tempat dimana anak-anak jalanan itu tinggal.

"Kak Gib, kapan kita belajar lagi? Aku udah bisa membaca loh," ucap Tio, anak lelaki berusia 8 tahun itu menunjukan senyum senang

Gibran tersenyum, " Em, gimana kalau hari minggu? Kebetulan kakak ga ada kuliah. Nanti kita belajar lagi, ya. Bilang juga sama yang lain, hari minggu besok bawa buku yang kemarin kakak kasih." ucapnya membuat beberapa anak yang berada di depannya mengangguk.

Gibran sering datang kesini, untuk sekedar bertemu dan membawa makanan untuk mereka, bahkan terkadang jika hari libur ia akan disana lebih lama, untuk mengajarkan mereka membaca dan menulis.

Melihat raut bahagia di wajah anak-anak itu membuat nya ikut merasa senang.

Gibran merupakan anak bungsu di keluarga nya, ia hanya memiliki seorang kakak yang sudah menikah satu tahun lalu. Orang tua nya sibuk bekerja, membuatnya merasa kesepian ketika berada dirumah. Oleh karna itu, ketika bertemu dengan mereka, ia jadi lebih sering menghabiskan waktunya bersama mereka.

Orang tua nya selalu mengirimkan uang bulanan selama ia tinggal di kosan, namun Gibran menggunakan uang itu untuk membayar kuliah dan membeli buku serta camilan untuk anak jalanan yang sudah ia anggap seperti adik nya sendiri, sisanya ia tabungkan untuk keperluan lain agar tak selalu meminta pada orang tuanya. Ia membayar kosan dengan uang yang ia dapatkan dari hasil mengajar les anak-anak di sekitar kosan nya. Ada sekitar 10 anak yang ia ajarkan disana. Ia memang tipe orang yang menyukai anak-anak kecil. Menurutnya, mereka lucu dan menggemaskan.

Tapi, berbeda dengan anak jalanan ini. Ia tak memungut biaya sepeser pun. Ia tulus mengajarkan mereka. Menurutnya walau anak-anak itu putus sekolah, setidaknya mereka harus bisa membaca, dan menghitung.

"Kak Gib, lihat ini!" Seru Rere, anak berusia 6 tahun itu menunjukan sebuah gambar karya nya.

"Wahh, bagus banget. Ini siapa aja?" tanya Gibran tersenyum lebar

"Ini aku, kak Tio, Teh Lia, dan ini kak Gibran." Rere menunjukan gambar orang yang lebih tinggi dari yang lain

Gibran tertawa pelan, " lucu banget" gumam nya, membuat Rere tersenyum senang

"Kakak suka?" tanya Rere, anak itu menatap Gibran yang sedang tersenyum melihat karya nya

"Suka banget!" jawab Gibran, membuat Rere bersorak senang

"Kok ga ada aku?" tanya Sisil, anak berusia 7 tahun menunjukan wajah cemberut, yang terlihat menggemaskan

"Kertas nya ga muat, nanti aku gambar lagi deh" jawab Rere

"Yaudah, nanti Rere gambar lagi, di gambar nya nanti ada Sisil, Tio, Nana sama temen-temen yang lain, ya" Sahut Gibran, ia mengusap kepala Sisil dan Rere bergantian

"Oke, nanti kalau gambarnya udah jadi, aku kasih liat kak Gib lagi," jawab Rere antusias membuat Gibran mengangguk.

Mereka memang biasa memanggil Gibran dengan sebutan kak Gib. Karena terdengar lebih lebih simple saja.

Hari ini memang Gibran tak ada jadwal kuliah, makanya pukul 9 tadi ia pergi ke sini. Mereka kembali bermain bersama, bahkan mereka tertawa ketika Gibran membuat sebuah lelucon yang menurut mereka sangat lucu.

Tak terasa matahari tepat berada di kepala, Gibran melirik jam di tangannya. Pukul 11.45, ia ingat jam dua siang nanti ia harus mengajar les anak tetangganya.

Rumah Nomor9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang