22. Arti Kasih Sayang

11 3 0
                                    

Anatra bergegas memasuki pekarangan rumahnya, meninggalkan koper dan barang bawaan lain di depan pagar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anatra bergegas memasuki pekarangan rumahnya, meninggalkan koper dan barang bawaan lain di depan pagar. Pria itu memerhatikan pakaian yang bertengger di jemuran, sebelum akhirnya menjatuhkan ke sembarang arah.

"Abin, Abin. Nanti yang punyanya marah," peringat Laksana, segera menyusul langkah ayahnya dan mencoba menghentikan perbuatan ayahnya.

"Masa bodoh! Tidak sopan sekali berjemur di pekarangan rumah orang," elak Anatra. Pria itu tetap menjatuhkan pakaian wanita yang masih terasa basah.

Sementara Laksana tampak panik. Ia menoleh ke berbagai arah. Takut ada ibu-ibu yang datang dengan amarah, lalu berdebat dengan ayahnya. Baru sampai rumah sudah membuat kekisruhan. Padahal Laksana berniat menunjukkan renovasi rumah yang ia lakukan sendirian empat tahun lalu.

"Bajunya masih basah, Bang. Kalau dijatuhkan begitu akan kotor lagi."

Laksana langsung menatap wanita yang datang dari arah kebun belakang rumah dengan mata terbelalak. Sementara Anatra langsung terdiam begitu mendengar suara lembut tersebut. Ia tahu siapa wanita itu, sangat tahu pasti. Walau sudah bertahun-tahun tidak lagi mendengarnya, tetapi suara itu tersimpan baik di memori pikiran Anatra.

Sampai akhirnya Anatra memberanikan diri melihat sang pemilik suara, jantungnya langsung dibuat berdegup sangat kencang. Keindahan wanita itu tidak berkurang setelah berpisah selama belasan tahun. Senyumannya, lekuk tubuhnya, dan pesonanya yang melekat membuat Anatra terpikat. 

"Umi!" teriak Laksana. 

Lelaki itu lebih dulu berlari ke arah sang ibunda. Begitu pula dengan Cani. Wanita itu menjatuhkan keranjang sayurannya ke sembarang arah, melebarkan kedua tangan untuk menerima pelukan putranya.

Pradana menyusul, berbulu ke dalam dekapan Cani. Tangisan sudah tak bisa terbendung lagi. Kedua anak itu membasahi pundak Cani tanpa peduli ibunya akan risih. Begitu pula dengan Cani. Wanita itu sudah menunggu selama belasan tahun, menanti kepulangan keluarganya setelah resmi dipulangkan dari rumah sakit jiwa.

Cani mengidap penyakit mental depresif kompulsif disorder dan skizofrenia. Ia kerap berhalusinasi tentang putranya yang hilang, sampai puncaknya adalah hampir membunuh suami dan anak-anaknya suang itu. Khawatir akan membahayakan banyak orang, masyarakat membawa Cani ke pusat kota, tepatnya ke rumah sakit jiwa, Anatra pun saat itu ikut mengantarkannya meski dengan keadaan perut baru dijahit dan jantung baru saja terkena serangan.

Akan tetapi, badai Cani telah berlalu. Cani dinyatakan sembuh sepuluh tahun kemudian. Itu artinya, dua tahun terakhir Cani menempati rumah ini sendirian tanpa sepengetahuan Laksana. Menghidupkan kembali kebun yang sempat terbengkalai, dan setia menunggu kepulangan keluarganya di depan rumah.

Hampir setiap sore menjelang malam, Cani berdiam diri di depan pintu rumah. Menghadap ke jalan setapak, kadangkala Cani sampai ke jalan raya. Namun, mereka tidak pernah kembali.

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang