O4. Penyerangan Tengah Hari

61 21 26
                                    

Matahari sudah hampir memunculkan diri, kaki Laksana sigap menuruni tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari sudah hampir memunculkan diri, kaki Laksana sigap menuruni tangga. Senyumnya merekah, pasalnya ia baru saja mengkhatamkan Al-Quran di usia ke-10 tahun, terlebih tahun ini sudah sebanyak tiga kali. Namun, usaha Laksana tidak boleh sampai di situ, ia harus berlatih silat Pelintau, salah satu kesenian tradisional suku Tamiang.

Untuk pemanasan, Laksana mengambil tongkat kayu berukuran 15 senti, ia memutarnya seperti baling-baling. Sebelumnya Laksana sudah menyapu bersih halaman rumah panggungnya, hingga kini sudah tiga tahun menjadi saksi atas pengorbanan Laksana dalam menguasai berbagai jurus. Jarak antara rumahnya dengan para tetangga tidak begitu jauh, tetapi tidak berdempetan juga. Semua warga sudah biasa dengan teriakan dan bentakan dari Anatra kepada putranya, pasalnya kebanyakan dari mereka pun memperlakukan putra-putri mereka dengan cara yang sama.

"Abang, semangat!"

Laksana menolehkan kepala ke belakang, baling-balingnya seketika terhenti saat melihat seorang anak kecil berusia empat tahun hanya memakai celana dalam, keluar rumah dan percaya diri menyemangati.

"Hey, awas nanti jatuh! Pagarnya terlalu berjarak juga tubuhmu terlalu kecil, dan satu lagi, pakai celanamu!"

Laksana berdecak pinggang memarahi adiknya. Bukannya takut, Pradana justru tertawa puas dan lari terbirit-birit untuk masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan adiknya tidak akan keluar lagi, lelaki itu kembali memutar tubuhnya, menghadap ke arah pantai.

Matanya berbinar menyaksikan matahari yang mulai naik, pertanda sebentar lagi latihan dimulai. Namun, Laksana ingin menyaksikan keindahan ini sebelum ayahnya hadir untuk melatih.

Sepuluh menit berlalu, Anatra tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Seketika hatinya menjadi resah, belum lagi jendela kamar orang tuanya belum terbuka sedari tadi. Laksana tetap sabar dan berusaha tenang . Sembari menunggu, Laksana mengasah beberapa jurus yang ia dapatkan tempo lalu, yang sekiranya belum terlalu lancar.

Tanpa dirasa matahari sudah hampir berada di tengah langit, Anatra juga belum kunjung keluar. Ke manakah pria itu? Apa mungkin sakit? Namun, jika pun sakit pasti ibunya akan keluar dan memberitahu.

Sesuai kesepakatan, Laksana sangat dilarang masuk ke dalam rumah sebelum adzan dzuhur berkumandang. Maka dari itu, Laksana berlatih tanpa pengawasan sang ayah, memberi makan ternak, dan memberi pupuk pada tanaman di ladang mereka. Bukan hal mudah jika mengerjakan tugas tanpa diawasi, Laksana sangat takut ada dari pekerjaannya yang salah tanpa ia duga.

Lantunan adzan dzuhur mulai terdengar saking sahut menyahut, lalu disusul masjid terdekat dari rumahnya. Laksana tersenyum sumringah, ia menyimpan topi tani di tempat asal, lalu meniti pinggir ladang untuk kembali ke rumah. Jarak antara ladang dan rumah tidak begitu jauh, hanya saja terjangannya adalah tanah dan semak belukar yang tidak tinggi.

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang