O1. Gelombang Maha Dahsyat

199 30 50
                                    

Binar mata kecilnya terus menoleh kanan dan kiri, melihat satu per satu manusia yang kalang kabut berlari tak tentu arah, menyelamatkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Binar mata kecilnya terus menoleh kanan dan kiri, melihat satu per satu manusia yang kalang kabut berlari tak tentu arah, menyelamatkan diri. Mereka sesekali berteriak dan meminta tolong, walau tetap saja tidak ada yang bisa menolong. Semua orang fokus pada dirinya masing-masing, belum ada bantuan dikerahkan ke setiap daerah setelah gempa berskala 9,3 magnitudo sejak sepuluh menit lalu.

Anak lelaki itu sesekali menutup daun telinga, teriakan orang dewasa membuat telinga si kecil sedikit sakit. Namun, pergerakannya kali ini dalam menyelamatkan indra pendengaran membuat boneka dalam genggamannya terjatuh.

"Kamu! Kalau boneka ini sampai hilang, aku tidak mau menjadi kakak kembarmu lagi." Anak lelaki lain menghampiri, sembari memberikan boneka yang ia ambil dari atas tanah.

Usia mereka masih menginjak empat tahun, cukup belia. Namun, si kakak sudah pandai sekali berbicara, sudah banyak kosa kata yang dirinya kuasai meski sesekali cadel. Berbeda dengan anak tadi, ia masih sering diam, terkadang jika ditanya pun tidak menjawab.

"Hey, kamu kenapa? Aku hanya bercanda, jangan dianggap serius!" Si kakak menyentuh pipi adiknya yang murung.

Perlahan anak itu mulai mengangkat kepala, menatap wajah kakaknya. "Aku ... takut," tuturnya pelan. Tubuhnya bergetar, mendekati kakaknya dan mulai memeluk agar merasa dilindungi.

"Aksa takut, Kak," ulangnya. Pelukan anak itu semakin erat.

Pundak Si kakak mulai basah, menduga jika adiknya mulai menangis dalam peluknya. Kemudian Si kakak melepaskan pelukan adiknya, melempar senyum dan mencengkeram pundak adiknya dengan kuat.

"Laksana jangan takut, ada Laksamana di sini!" Senyum mengembang ia lempar untuk Laksana, adik kembarnya.

Meski perbedaan usia mereka hanya berjarak lima menit, tetapi Laksamana sudah terlihat sangat bisa menjadi seorang kakak yang baik untuk Laksana. Laksamana bisa menenangkan Laksana yang tengah menangis, rewel, bahkan marah sekalipun. Laksamana sering mengalah demi adiknya, apa pun itu asal adiknya bahagia.

Laksamana menarik adik kembarnya agar menepi, tidak menghalangi jalan kedua orang tuanya yang sibuk keluar masuk rumah. Orang tua mereka sedang mengambil barang penting untuk dibawa ke tempat pengungsian.

"Air pantai surut, air pantai surut!" Seorang warga berteriak histeris dari arah barat, membuat semua masyarakat sekitar desa Meunasah Teungoh semakin panik.

Brak! Pria yang cukup tinggi dan berisi itu terjatuh dari tangga rumah panggungnya, terkejut karena teriakan warga tadi. Alhasil dua anak kembarnya berburu menghampiri.

"Abin! Abin tidak apa-apa?" tanya Laksamana, membantu ayahnya kembali berdiri. Sementara Laksana membereskan dokumen-dokumen yang keluar dari tas selempang.

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang