Suasana di dalam rumah rasanya mencekam. Kedua pemuda tengah bertengkar di ruang televisi, tanpa rasa malu disaksikan oleh semua keluarganya. Gevano berusaha menahan pergerakan adiknya agar tidak kebablasan memukul Andara, meski anak itu terus saja berontak. Begitu pula Anandika yang memeluk adiknya. Walaupun perempuan, Andara memiliki tenaga yang besar jika sudah melayangkan pukulan.
"Siapa yang lupa sama temennya?" sewot Andara.
"Kamu!"
Andara mendengus kasar. Dengan kuat gadis itu menghempaskan tubuh kakaknya, kemudian mensedekapkan kedua tangan di depan dada. "Hello? Nggak salah bilang, tuh? Kamu kali yang lupa."
"Kamu jangankan sama temen, adik sendiri aja nggak inget, kan?" timpal Pradana.
Andaru yang berada di antara mereka berdua pun tersentak, dirinya jadi dibawa-bawa seperti ini.
"Ya, udah, sih. Hubungan aku sama Andaru biar jadi urusan kita aja, kenapa kamu yang sewot?"
Pradana mendorong tubuh kakaknya agar terlepas, perlahan ia melangkah mendekati Andaru, tetapi tatapannya tajam menatap Andara.
"Makannya, kamu jadi nggak tau kalau Andaru dibully di sekolah!"
Barulah Andara terdiam, wajah ganasnya perlahan mencair cenderung sendu. Ia melempar tatapan ke arah adik kembarnya, kedua alisnya bertaut mempertanyakan kebenaran itu.
Hal ini justru membuat Pradana puas, Andara mulai lengah dengan emosinya. Terhitung selama satu minggu terakhir, mereka berempat—Pradana, Andara, Andaru, dan Alphino—terpecah menjadi dua bagian karena sebuah konflik. Pradana selalu bersama Andaru, sementara Andara bersama Alphino meski mereka berdua beda jurusan. Selama satu minggu ini juga Pradana selalu menjadi saksi atas keganasan teman-temannya merundung Andaru.
"U-udah, udah. Kalian jangan berantem di sini, Pak Anatra, kan, ngadain pertemuan ini buat syukuran kembalinya Kak Gevan. Tapi, kalian malah memperburuk suasana." Andaru mencoba menengahi.
"Memperburuk suasana kamu bilang?" Kali ini Alphino bersuara. Meskipun terdengar datar, tetapi terbilang mencekam. Apalagi Alpino tipe orang yang jarang sekali terpancing emosi, seumur-umur dirinya tidak pernah marah untuk masalah apa pun, selalu mengatasinya dengan hati dan pikiran yang tenang.
"Justru dia yang mancing-mancing, anaknya sendiri!" Tangannya terangkat menunjuk Pradana.
"Ada apa ini?" tegur Anatra, ia dan Laksana baru kembali masuk ke dalam rumah.
Sifat tegasnya kembali lagi, kedua tangannya mengepal. Ia tak segan melempar tatapan tajam untuk empat orang anak SMA yang membuat keributan di rumahnya, meskipun kepada anaknya sendiri. Anatra sangat kesal kepada mereka. Seharusnya hari ini menjadi hari yang menenangkan setelah membuat syukuran kecil-kecilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detention : Perjuangan Mencari Sang Pemberani
Mystery / ThrillerLaksana merasa bertemu kembali dengan kakak kembarnya yang hilang akibat bencana tsunami Aceh 2004 silam. Namun, Gevano-yang ia duga sebagai saudaranya-sama sekali tidak mengingat masa kecilnya, bahkan Laksana sekalipun. Akankah Laksana bisa membuat...