Pandangan mata Laksana memandang lurus ke arah kakak kembarnya yang sedang dikerubungi oleh anak-anak sampai remaja, seperti semut yang memperebutkan makanan manis. Anak-anak banyak yang jahil menempelkan stiker ke wajah Gevano, dan Gevano pun hanya diam saja sembari menjawab pertanyaan para remaja.
Laksana mendengus kasar. Iri dengan kakaknya tiba-tiba menjadi primadona desa, apalagi Gevano terus menebar senyum manis. Sementara dirinya harus mengambil baju-baju yang kering dari jemuran, setelah sebelumnya dicuci kembali oleh kedua orang tuanya.
Hari mulai beranjak menuju sore, nyaris di waktu magrib. Masjid-masjid sudah mengumandangkan lantunan ayat suci Al-Quran. Suasana pedesaan yang sangat Laksana rindukan. Akan tetapi, makin sore makin banyak yang menghampiri Gevano, kebanyakan perempuan. Rata-rata mereka bertanya seperti apa rasanya menjadi korban tsunami 2004 silam. Namun, itu semua hanya basa-basi belaka, mereka hanya ingin melihat ketampanan Gevano yang berbeda dari Laksana.
Laksana mengangkat keranjang penuh baju kering. Lalu meletakkannya di salah satu anak tangga untuk melepaskan sandal.
"Dia udah punya pacar. Kalian jangan terlalu berharap, deh," sindir Laksana.
Tiba-tiba semua anak gadis yang mengerubungi Gevano menghentikan lontaran pertanyaannya, mereka kompak menoleh kepada Laksana yang sedang mengangkat kembali keranjang.
"Apa, sih, Bang Aksa sok asik."
"Iya. Abang pasti nggak laku, kan? Makannya marah-marah gitu," sahut yang lain.
Alis Laksana seketika bertaut marah, ia melipat lengan bajunya dan bertolak pinggang. "Kurang ajar!"
Tak peduli akan emosi Laksana, anak-anak itu semakin memanas-manasi. "Bang Laksamana tau nggak? Dulu, adik Kakak itu sering banget marahin kita. Padahal kita cuman ikut main di halamannya, tapi kita diusir sama dia."
"Oh, ya?" Gevano bereaksi terkejut. Membuat anak-anak itu semakin menceritakan tingkah Laksamana dahulu. Seperti membawa sapu lidi untuk memukul Pradana yang kabur karena ingin lanjut bermain di waktu magrib, atau ketika Laksana tidak becus menjadi remaja masjid.
Baru saja Laksana mengambil sebuah sapu lidi dan menuruni beberapa anak tangga, ingin memukul anak-anak yang menyebarkan aib masa lalunya, Anatra keluar dari rumah dan menghentikan niatan Laksana.
"Hei, pulang sana, Umi dan Abi kalian nyari, tuh. Lagian, bentar lagi magrib, nggak baik masih kecil keluyuran. Pulang mengaji itu seharusnya langsung kembali ke rumah, bukan main dulu tanpa izin."
"Kalau aku sudah izin," celetuk seorang anak lelaki yang beringus dan mencengkeram minuman plastik di tangan kirinya.
"Sudah izin pun seharusnya ganti baju dulu. Kasihan orang tuamu harus mencuci baju kotor terus menerus," timpal Anatra. Tutur katanya lembut sekali seperti menasihati anak sendiri.
"Ayo, kita pulang saja," ajak anak perempuan menarik ujung baju temannya.
Anatra terkekeh ringan, mengulum senyum hangat di bibirnya. "Besok lagi mainnya. Kak Laksamana-nya juga harus beristirahat, benar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detention : Perjuangan Mencari Sang Pemberani
Bí ẩn / Giật gânLaksana merasa bertemu kembali dengan kakak kembarnya yang hilang akibat bencana tsunami Aceh 2004 silam. Namun, Gevano-yang ia duga sebagai saudaranya-sama sekali tidak mengingat masa kecilnya, bahkan Laksana sekalipun. Akankah Laksana bisa membuat...