"Kamu gila, Sa," umpat Alvano dengan raut wajah tak percaya. Matanya terus menatap punggung istri Laksana yang berada di selasar rumah, sedang berbincang bersama Alvani dan Andara. Perempuan-perempuan itu terlihat asyik sekali bercengkrama.
Anandika yang tengah menggigit kuku jari jempolnya menggeleng lemah, sebetulnya ia mencoba mencerna penjelasan panjang Laksana tentang pernikahannya yang sangat mendadak itu. Sewaktu vidio call menjadi saksi tempo hari, Laksana berjanji akan menjelaskan ketika ia sudah kembali ke Bandung. Dan inilah yang terjadi, Anandika dan Alvano tampak menautkan kedua alis.
"Tapi, kalau dia udah ngelahirin, kamu harus nikahin dia lagi, Sa. Dalam hukum islam gitu, kamu tau, kan?" Anandika menoleh menatap Laksana. Ia tahu karena kebetulan dirinya lulusan pesantren sedari tingkat SD sampai SMP, belum lagi saat SMA—walau bersekolah di sekolah negeri—Anandika mengikuti ekstrakulikuler keagamaan.
Laksana mengangguk percaya diri. "Abin sempet bilang beberapa jam sebelum kita akad. Mungkin aku bakal ngadain acara besar-besaran waktu pernikahan kedua nanti. Ya, sekadar memenuhi wedding dream kita berdua."
"Nggak usah gede-gedean, sederhana aja cukup," celetuk Gevano, sembari meletakkan dua gelas kopi hangat untuk kedua sahabatnya yang sedang bertamu ini. "Uangnya bisa kamu pakai buat DP rumah, atau honeymoon sekalian. Daripada dipake buat acara gede yang cuman dijalanin satu hari doang."
"Tapi, kan, setiap orang punya impian, Kak. Kamu aja pasti udah ngerencanain pernikahan kayak gimana sama Andara," elak Laksana.
Gevano mengangkat kedua bahu dalam waktu singkat. "Nggak juga. Aku sama Andara mau intimate wedding, cuman ngundang kerabat terdekat aja, terus uang tabungan kita bakal dijadiin DP rumah sama bulan madu."
Gevano mendudukkan pantatnya pada sofa seberang Laksana, sementara adiknya itu juga duduk di sebuah sofa single. Jadi, Anandika dan Alvano bersebelahan, menoleh kepada Laksana dan Gevano bergantian yang masih bertengkar.
Mata Laksana terbelalak cukup lebar. Ia sedikit menaikkan nada bicaranya. "Andara masih kecil, Van. Masih bau kencur, tuh. Kalian udah ngerencanain mau nikah?"
"Lah, Andara udah 16 tahun, Sa, tahun ini mau 17 malah. Temen-temennya aja banyak yang punya hubungan sama cowok."
"Tapi, pacar temen-temennya itu seumuran sama mereka. Nggak jauh kayak kamu, Kak! Banyak orang yang nggak setuju sama hubungan age gap. Kalian beda enam tahun, kan? Kalau dibandingin antara Andara sama Prada aja tuaan Prada," sewot Laksana, sampai dirinya memajukan tubuh dari sandaran kursi.
"Kok, jadi kamu yang marah? Kakaknya aja biasa aja, tuh," sindir Gevano sembari menunjuk Anandika. "Lagian, ya, kalau aku lagi bareng sama Andara, aku nggak mungkin nunjukin kepribadianku yang ini. Sudah pasti aku akan seperti lelaki seusianya. Aku belum berpengalaman memiliki hubungan, nggak mungkin Andara ngerasa pacaran dengan om-om yang jago mainin hati cewek."
"Justru itu, Kak. Kasian Andara harus ngadepin cowok yang nggak punya pengalaman dalam hubungan."
Rahang Gevano tiba-tiba menegang, ia merasa disudutkan oleh adiknya sendiri. "Hah? Kenapa Andara dikasihanin? Kita itu sama-sama kali pertama menjalani hubungan, nggak punya mantan. Ya, bisa saling belajar memahami satu sama lain, dong."
Suasana semakin tidak kondusif, terlebih saat keduanya beranjak dari tempat duduk. Otomatis Anandika dan Alvano menahan pergerakan kedua pasang anak kembar itu, Anandika menahan Gevano, begitu pula Alvano yang menahan Laksana.
"Ya, udah, sih. Kok, jadi pada berantem? Kalian ini adik-kakak lho, malah ngeributin hal yang nggak jelas," protes Anandika. Ia mendorong tubuh Gevano cukup kuat, hingga lelaki itu terduduk kembali di atas sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detention : Perjuangan Mencari Sang Pemberani
Mystery / ThrillerLaksana merasa bertemu kembali dengan kakak kembarnya yang hilang akibat bencana tsunami Aceh 2004 silam. Namun, Gevano-yang ia duga sebagai saudaranya-sama sekali tidak mengingat masa kecilnya, bahkan Laksana sekalipun. Akankah Laksana bisa membuat...