21. Kembalinya Keluarga Dhieut

10 3 0
                                    

Matahari sudah terbit dari ufuk timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari sudah terbit dari ufuk timur. Rencananya setelah sholat subuh, Anatra dan keluarga akan segera berangkat menuju desa kampung halamannya. Namun, sudah setengah jam pria itu terduduk di atas sajadah sembari melamun. Ia memikirkan perkataan putra sulungnya yang semalam.

Ayah macam apa dirinya? Membuat sang anak hampir dijemput maut untuk kali kedua. Setelah tsunami, kemudian penyiksaan dari Degana. Jika dibayangkan, Gevano sangat amat menderita selama hidupnya. Bersaing bersama anak lain di dunia panti asuhan, saat pindah ke indekos pun harus menyaksikan pembunuhan keji, setelah itu penangkapan oleh kelompok pembunuh bayaran.

Tak hanya Gevano, Anatra juga membiarkan Laksana dan Pradana bersikap dewasa sebelum waktunya. Anak-anak yang seharusnya bermain bersama kawan-kawan, terpaksa mandiri dan mencari nafkah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Anatra mengepalkan kedua tangan. Jika saja istrinya mengetahui kabar ini, sudah pasti Anatra akan dimaki habis-habisan. Anatra sangat ingat perkataan Cani saat dirinya mengantarkan ke kamar rawat di rumah sakit jiwa, Cani menitipkan anak-anaknya kepada Anatra, begitu pula Anatra berjanji akan selalu menjaga putra-putranya.

Andaikan aku tidak memiliki penyakit jantung, semua ini tidak akan terjadi, Can. Ini bukan kemauanku. Aku hanya takut akan merepotkan mereka berdua, batin Anatra.

"Tapi, kalau aku tidak pergi ke Bandung, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Laksamana," gumamnya kemudian.

Anatra menjambak rambutnya sendiri. Frustrasi dengan apa yang terjadi. Seharusnya, hari ini ia semangat karena akan kembali ke kampung halaman setelah dua belas tahun terakhir. Anatra berusaha melupakan pertanyaan Gevano, ia berjanji akan bersikap biasa saja kepada anak itu.

Tok, tok, tok! 

"Siapa yang mengetuk, Prad?" tanya Anatra, tanpa mengangkat kepalanya.

Pradana yang tengah memberesi barang bawaan pun meninggalkan pekerjaannya, mengintip melalui celah gorden yang masih tertutup, sebab Anatra belum mau membukanya.  

"Sepertinya Kak Gevan, Abin. Mau aku yang wakilkan?" tawar Pradana. Anak itu menyadari kondisi ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Daripada melihat sang ayah kambuh, lebih baik dirinya inisiatif bertemu dengan Gevano. 

Tanpa menunggu persetujuan, Pradana membukakan pintu dan hendak keluar. Namun, dirinya dikejutkan oleh wajah penuh memar kakaknya, belum lagi kantung mata sedikit bengkak seperti habis menangis.

"Kak Gevan berantem sama Abang?" tanya Pradana, sedikit menaikkan nada bicara saking terkejutnya. 

Gevano menggeleng lemah. Matanya bergerak mencari keberadaan sang ayah di dalam kamar. Sampai akhirnya mata mereka saling bertemu, Anatra masih terduduk di atas sajadah. Gevano hendak melalui Pradana, tetapi anak itu justru semakin menghalangi jalannya. 

"Aku mau ketemu Abin, Prad," ujar Gevano.

"Jangan, Kak. Abin lagi nggak baik-baik aja," larangnya.

"Abin nggak baik-baik aja karena aku, Prad."

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang