30. Kekhawatiran Pasutri

8 3 0
                                    

"Assalamualaikum, maaf aku pulang terlambat." Laksana mengunci pintu, berhubung hari sudah larut malam, menunjukkan pukul delapan. Ia bergegas menuju ruang makan, di mana terdengar sumber suara menjawab salamnya.

"Waalaikumussalam. Makan, Bang," suruh Cani, langsung mengambilkan nasi ke atas piring yang masih kosong.

"Biar aku aja, Umi," ucap Damira, berniat mengambil alih.

Cani sempat terlupa, putra tengahnya itu sudah memiliki istri. Memang seharusnya sang istri yang menyiapkan makan untuk suaminya. Alhasil wanita itu memberikan piring yang telah diisi nasi kepada Damira.

Laksana mencium punggung tangan kedua orang tuanya, sebelum akhirnya mencium pipi Damira dan duduk di sebelahnya. Aksi itu membuat Pradana menyipitkan kedua mata, merasa risih sekaligus tidak nyaman berada di meja makan.

Terhitung sudah satu minggu mereka berada di rumah ini, dan hari ini adalah hari kedua bulan Ramadhan. Pradana sering mendapati aksi romantis dari kakaknya yang telah menikah. Meski memiliki perasaan kepada perempuan, Pradana kerap merasa risih jika melihat aksi romantis, terkecuali melihat orang tuanya. 

"Prada ke kamar duluan. Makasih makanannya, Umi," tutur Pradana, beranjak dari tempat duduknya.

"Sebetulnya ini masakan Damira, Umi tadi bikin takjil. Enak banget, ya?" puji Cani. Wanita itu mengukir senyum di bibirnya untuk sang menantu, membuat gadis itu tersipu malu.

"Oh, makasih, Kak Dami." Dingin sekali jawabannya. Anak itu melengos masuk ke dalam kamar tanpa sepatah kata apapun.

Damira mengembuskan napas pelan, ujung matanya melihat ke arah pintu kamar Pradana yang mulai menutup. Wajahnya menggambarkan setumpuk kekhawatiran.

"Prada emang gitu, Dami, tenang aja," celetuk Gevano. Ia menelan makanan di dalam mulut, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Waktu aku pertama kali tinggal di rumah ini sebagai kakaknya, Prada dingin banget. Sampai marah-marah nggak jelas. Mungkin faktor peremajaan juga."

Gevano terlihat sudah selesai dengan makan malamnya. Ia lantas meneguk segelas air mineral.

"Nanti dia bakal terbiasa, kok, sama kehadiran kamu," ucapnya kemudian, sebelum ikut meninggalkan ruang makan seperti adik bungsunya.

Beberapa menit kemudian lengang, tidak ada satupun di antara mereka yang membuka suara. Hanya denting antara sendok dan piring. Anatra juga tidak lagi membahas hal-hal random seperti biasanya, begitu pula dengan Cani yang tidak bercerita tentang harinya.

Laksana hanya fokus kepada makanan, lebih tepatnya bergelut ke dalam pikiran. Barusan Laksana baru bantu-bantu warga di masjid setelah selesai shalat tarawih. Dan beginilah kegiatan Laksana belakangan, tidak ada lagi selain beraktifitas di sekitar rumah dan perumahan.

Saking tenggelamnya bersama pikiran sendiri, Laksana tidak menyadari tatapan tajam Damira sampai ia rela menghentikan suapannya. Damira juga kepikiran atas kalimat Gevano dan sikap Pradana beberapa menit lalu. Padahal gadis itu berharap suaminya bisa menenangkan atau justru membelanya.

"Kapan kamu cari kerja?" Damira memberanikan diri bertanya, tak peduli akan kehadiran kedua mertuanya di seberang meja makan.

Merasa tidak didengar, Damira menggoyangkan lengan Laksana berkali-kali. "Aksa, kapan kamu cari kerja?"

Akhirnya Laksana membuyarkan lamunan, ia menoleh menatap istrinya, setelah itu mengembuskan napas panjang. "Zaman sekarang susah nyari kerja, Dam. Apalagi aku dipecat secara tidak hormat dari kepolisian, makin susah buat perusahaan nerima karyawan kayak aku."

Damira memilih diam tidak menanggapi kalimat Laksana yang menurutnya tidak menjawab pertanyaan tadi. Seminggu ini Damira tak pernah melihat suaminya mengirimkan lamaran ke sebuah perusahaan, dalam kata lain Laksana belum mencoba tapi sudah menyerah duluan.

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang