28. Oleh-oleh untuk Bandung

7 3 0
                                    

"Lihat adikmu, contoh dia yang menikah tanpa proses pacaran sebelumnya," sindir Cani. Wanita itu sedang mencuci piring, ditemani oleh Gevano mengelap alat makan yang sudah tercuci bersih.

Lelaki itu memajukan bibirnya. Cani terdengar masih kesal karena salah satu putranya memilih berhubungan secara haram dengan anak orang. Berpacaran, Cani sangat menghindari hal itu. Cani senang karena Laksana menikah langsung tanpa berpacaran, walau masih secara agama. Kata Anatra, ia berjanji akan menikahkan putranya secara negara saat mereka sudah pulang ke Bandung nanti.

Gevano menoleh kepada adik kembarnya, terlihat dari arah dapur anak itu sedang duduk santai di ruang tengah di atas samak. Istrinya menghampiri sembari membawakan secangkir kopi, bahkan Damira membantu Laksana meneguk kopi tersebut karena pergerakan leher Laksana masih sangat terbatas.

Adegan yang begitu romantis, pikir Gevano, seraya memutar bola matanya 360 derajat.

"Kenapa matanya gitu? Kamu kesel sama kalimat Umi?" pekik Cani. Raut wajahnya berubah marah dan memerah.

"Eng-enggak, Umi. Kakak nggak kesel sama Umi, kok," elak Gevano gagap.

Cani tidak percaya, wanita itu mendengus kasar, membuat Gevano menunduk takut. Ibunya kalau sudah marah akan berubah seperti monster sholehah berjilbab panjang.

Wanita itu merebut peralatan makan yang sudah kering dari tangan putra sulungnya, lalu beranjak menyimpan peralatan makan tersebut ke tempat aman. Rumah ini akan ditinggal dalam waktu yang sangat lama, entah kapan mereka akan kembali lagi ke Aceh. Maka semua perabotan rumah harus diamankan, sebab Anatra bilang di Bandung sudah banyak peralatan memasak yang diyakini Cani bakal suka.

Awalnya rumah ini akan ditempati oleh pengantin baru, berhubung Laksana belum mendapatkan pekerjaan tetao di Bandung seperti Anatra dan Gevano. Namun, kasihan Damira. Meski sudah menikah dengan Laksana, tatapan para tetangga kepadanya masih tetap terasa menyakitkan.

"Boleh tolong bukain?" pinta Laksana. Jemarinya masuk ke dalam gips penyangga menggaruk-garuk leher, rasanya gatal.

"Tapi, leher kamu masih sakit."

"Ah, cuman geser doang tulangnya, bukan patah. Nggak apa-apa, lagian leherku gatel banget. Aku juga nggak mau membuat para sahabatku terlalu khawatir besok."

Damira masih ragu harus menuruti permintaan Laksana, tetapi suaminya menampilkan raut wajah meyakinkan. Alhasil ia terpaksa membantu Laksana membuka gips penyangga leher tersebut.

"Aku takut sahabat kamu nggak bisa nerima keberadaanku. Apalagi dengan latar belakangku yang—"

"Mereka bukan orang seperti itu," potong Laksana.

Damira terdiam tak bergeming. Menatap suaminya yang melempar senyuman hangat untuk dirinya.

"Mereka mudah sekali menerima keberadaan seseorang, bagaimanapun latar belakang dia sebelumnya. Kamu bisa tanya Kak Aka kalau nggak percaya. Lagian, sahabatku itu sepupu aku juga, jadi nggak mungkinlah mereka sampai begitunya."

Tangan Damira mengusap-usap leher Laksana, terutama di bagian yang dirasa gatal. Wanita itu memiringkan kepalanya. "Sepupumu?"

Laksana mengangguk. "Alvano dan Alvani itu anaknya Bi Nala. Kalau Anandika adalah anak dari adik kembarnya Bi Nala. Ribet, sih, jelasinnya. Nanti juga kamu bakal paham."

Laksana membunyikan sendi leher sebanyak dua kali—ke kanan lalu ke kiri—untuk mengurangi pegal, membuat Damira merinding membayangkan sakit di setiap sendi itu. Hati Damira terasa berkecamuk, tentang kehidupan Laksana di Bandung sebelumnya. Bukankah tidak mungkin lelaki ini mencintai wanita lain di sana? Pikir Damira. Lantas, mengapa dirinya yang Laksana pilih sebagai pasangan hidup?

Detention : Perjuangan Mencari Sang PemberaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang