chapter 14

6.4K 362 1
                                    

Mikel menghentikan mobilnya, ia menatap wajah sawara yang menyerngit bingung.

"Turun"

"Lo turunin gue di sini?"

"Iya, sekarang lo turun"

Sawara menatap tak percaya ke arah mikel, laki-laki ini tega-teganya dia!

"Gue males ketemu sama orang-orang yang ada di dekat rumah lo"mikel lebih dulu menjawab alasannya menurunkan sawara saat ia melihat sawara yang ingin membuka mulut.

"Dih, lo takut di usir?"cibir sawara, tangannya bersedekap ia memandang sinis ke arah mikel.

"Turun sana banyak omong lo dari tadi"

Mikel Mengibas-ngibaskan tangannya mengusir.

Sawara keluar dari mobil mikel dengan kesal ia membanting dengan kencang pintu mobil tersebut.

Kaca mobil mikel terbuka laki-laki itu Menyodorkan kantong plastik ke arah sawara.

"Nih ambil"

"Apaan nih"

Menaikkan sebelah alisnya ia memandang bingung pada mikel.

"Tumben, kesambet apaan lo?"

"Tinggal ambil aja apa susahnya
sih, ribet banget"

"Iya iya ini gue ambil"

Mikel mencibir setelahnya membelokkan mobilnya menjauhi sawara.

Sedangkan Sawara setelah melihat mobil mikel yang mulai menjauh pandangannya beralih ke dalam kantong belanjaan yang di berikan mikel.

"Tumben tu setan baik gini, tapi lumayan sih ini cemilannya bisa buat dua hari"

Ia melangkah ke arah rumahnya dengan santai, sesekali membalas sapaan ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran.

Belum sempat ia membuka pintu salah satu tetangganya menghampiri.

"Mbak wara"

"Eh iya buk, ada apa ya?"

"Mbak tadi laki-laki yang ngerusakin pintu mbak balik lagi ke sini, untung saya sama beberapa ibuk-ibuk lain cepat ngusir"

"Makasih ya buk udah bantu ngusir laki-laki itu"

"Iya mbak, kalo gitu saya pulang ya"

Sawara mengangguk membalas ucapan salah satu tetangganya yang melapor bahwa ia telah mengusir mikel.

"Pantes, trauma di usir kayaknya"

Sawara Mengingat tingkah mikel saat tadi mengantarnya, tanpa sadar ia sedikit terkekeh membayangkan ekspresi mikel saat para ibuk-ibuk mengusirnya.

                              ***

Tidur terlentang dengan tangan yang dijadikan sebagai bantalan, sawara mengingat kehidupan pertamanya sebagai Adhisti. ia dulu merupakan seorang mahasiswa dengan kehidupan yang biasa saja. memiliki orang tua yang lebih sering berada di luar rumah, tidak memiliki pacar, dan temannya yang hanya beberapa saja.

Tapi bila di bandingkan dengan kehidupannya di raga Sawara ia akan dengan lantang beseru bahwa kehidupannya sebagai Adhisti terasa lebih baik.

Menghela nafas ia memejamkan matanya berharap dengan cepat dapat tertidur.

                               

glass window (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang