Huit : Si seulement

527 89 19
                                    

"Hati-hati," ujar Love menatap Milk.

"Aku akan kembali untuk menjemputmu secepatnya, percaya padaku." Milk memeluk Love sebentar kemudian kembali menaiki kudanya.

"Maaf sudah membuatmu menunggu Arbres. Ayo." Mereka pergi meninggalkan kota dan kembali ke medan perang untuk membantu sang pangeran.

Voir, Cerises, dan Love menatap kepergian mereka sampai keduanya hilang dari pandangan ketiga gadis itu.

"Ayo masuk putri, aku akan menunjukkan kamarmu," ajak Voir. Love mengangguk, dan mengikuti langkah Voir.

***

Arbres dan Milk sudah tiba di sana, mereka menatap sendu ke arah prajurit-prajurit yang berjatuhan di sekeliling mereka meski tertutupi oleh semak-semak. Arbres turun dari kudanya, ia mencari-cari prajurit yang mungkin masih bernyawa dan dapat ia tanyai, tapi nihil tidak ada yang selamat di sana. Tangan kekar itu mengepal kuat dengan wajah yang menahan amarah. Milk juga ikut turun dari kudanya, berjalan menghampiri Arbres. Tangan gadis itu menepuk pelan pundak sang pemuda.

"Tenang saja Ar, pangeran Ciel pasti masih hidup."

"Aku tidak seharusnya meninggalkannya sendirian Lait." Mata Arbres mulai berkaca-kaca.

"Pangeran kesayanganmu bukan orang lemah Arbres, ayo kita cari," ajak Milk sembari tersenyum lembut kepada sang pemuda. 

Mereka kembali menaiki kuda, menatap ke sekeliling untuk mencari petunjuk tanda-tanda kehidupan orang lain, hingga pandangan Milk jatuh kepada seorang pria tua yang tergeletak dengan pedang menghunus tepat jantungnya. Dada Milk terasa begitu sesak, ia menghampiri mayat tersebut dengan perasaan yang campur aduk. Gadis itu menatap tubuh Reux Verden yang sudah tidak bernyawa dengan luka di sekujur tubuh, kepala yang berdarah, dan darah di sekitar pedang yang sudah mengering. Sedangkan Arbres masih mencari keberadaan Ciel sesekali pemuda itu berteriak memanggil nama sang pangeran.
Milk bersimpuh di samping mayat pria tua yang sangat ia kenali, tangannya mengambil pedang yang tertancap di tubuh pria tua itu, mencabutnya pelan dengan perasaan sedih yang tak bisa ia definisikan. Milk tidak menangis, air mata bahkan satu pun tidak ada yang turun. Tapi perasaannya seolah tertancap oleh duri-duri tajam yang sangat banyak, perasaan yang Milk sendiri tidak mengerti. Namun, satu hal yang Milk yakin bahwa perasaan ini adalah milik sang pemilik tubuh asli, yaitu Lait. Gadis itu memperhatikan sebuah kata yang terukir pada gagang pedang yang ada ditangannya.

"Lumière?" gumam Milk pelan sembari mengelus ukiran tersebut.

"Lait, Arbres." Sebuah panggilan lirih membuat mereka mengalihkan perhatiannya ke arah sumber suara.

"Pangeran Ciel!" Arbres dengan cepat turun dari kudanya menghampiri sang pangeran yang bersandar di sebuah pohon dengan napas yang tersengal-sengal. Milk juga ikut menghampiri Ciel dengan pedang Lumière yang ada di tangannya.

"Apa yang terjadi pangeran? Siapa yang membuat pangeran begini?" Arbres terlihat panik, ia memperhatikan kondisi Ciel yang jauh dari kata baik. Pelipis pemuda itu mengeluarkan banyak darah, dengan lebam-lebam di tangan dan kakinya. Bahkan mungkin tangan kanannya patah karena Ciel meringis kesakitan ketika Arbres memegang tangan itu.

"Dimana mereka pangeran?" tanya Milk memposisikan dirinya setengah jongkok di hadapan sang pangeran, memperhatikan kondisi sang pangeran yang lumayan menyedihkan. 

"Hanya seorang yang tertinggal Lait diantara mereka, semua pasukan mereka sudah mati begitupun dengan kita. Hanya aku, Arbres, dan kamu yang tersisa," jawab Ciel menatap Milk dan Arbres secara bergantian.

Different WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang