25. Tidak Sengaja

6 2 0
                                    

Arunika berangkat sekolah sangat pagi. Ia sekarang sudah duduk di bangku SMP.  Arunika berangkat sekolah dengan menaiki sepeda yang menghabiskan waktu sekitar lima belas menit.

Arunika yang dulu ketika SD sangat rajin sarapan, sekarang hal itu sudah tidak berlaku. Pagi hari tidak tersedia nasi dan lauk di rumah. Itu sebabnya Arunika tidak pernah sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Dulu, Bunda Sukma rajin memasak pagi agar Arunika bisa sarapan. Namun, sekarang Bunda Sukma sedang merantau. Arunika juga tak pernah diperhatikan oleh neneknya.

Setibanya di sekolah, Arunika memarkirkan sepedanya. Kemudian ia berjalan menuju ke ruang kelas. Sesekali ia menyapa tukang kebun yang sedang bersih-bersih.

"Kamu setiap hari kok berangkatnya pagi sekali." Ucap seorang bapak yang sudah berumur.

"Biar nggak terlalu ramai pak jalanannya." Tutur Arunika.

Memang benar, Arunika selalu berangkat ke sekolah tepat jam 06.00 pagi. Agar ia bisa lebih mudah menyebrang jalan menuju gerbang sekolah.

"Semangat, Pak." Pesan Arunika kemudian melanjutkan langkahnya ke kelas.

Setibanya di kelas tentu saja belum ada siswa yang datang selain Arunika. Akhirnya ia meletakkan tasnya di bangku dan memilih untuk duduk di sebuah gazebo yang berada tak jauh dari ruang kelas.

Siswa-siswi mulai berdatangan. Arunika beralih menuju ke ruang kelas. Arumi, teman satu bangkunya baru saja datang. 

"Rajin banget sih Nika, jam segini udah duduk-duduk aja di gazebo." Sindir Arumi.

"Aku kan anak rajin, berangkat paling pagi." Balas Arunika seraya tertawa.

Bel masuk berbunyi nyaring. Kemarin Arunika mendapat panggilan untuk mengikuti olimpiade sejarah. Kemudian Arunika segera menemui guru pembimbing untuk melaksanakan bimbingan.
Ada tiga siswi yang terpilih untuk mewakili sekolah. Mereka melaksanakan bimbingan dan mulai berlatih mengerjakan soal-soal sejarah. Arunika memang menyukai pelajaran sejarah.

-----

Bel pulang telah berbunyi. Arunika segera mengambil sepedanya di tempat parkir. Arunika adalah tipe orang yang tidak menyukai kerumunan. Ia berisitirahat sejenak sembari menunggu area gerbang sedikit lengang. Kemudian ia segera mengayuh sepedanya untuk segera pulang.

Setibanya di rumah, saat memarkirkan sepedanya Arunika tidak sengaja menginjak mainan mobil milik Tio. Alhasil mainan itu hancur. Tio yang mengetahui jika mainan miliknya rusak langsung memarahi Arunika. Usia mereka berdua selisih dua tahun. Arunika lah yang lebih tua daripada Tio.

"Aku nggak sengaja." Ucap Arunika meminta maaf.

Ia benar-benar tidak sengaja menghancurkan mainan itu. Salah Tio sendiri yang menaruh mainannya sembarangan. Apalagi di teras rumah yang biasanya digunakan untuk menaruh sepedanya.

"Kamu punya mata nggak sih. Kenapa mainan aku dirusak." Bentak Tio.

Nenek Ratna yang mendengar pertikaian antara Arunika dan Tio langsung menghampirinya.

"Ada apa ini." Sentak Nenek Ratna.

"Nenek, lihat mainan Tio dirusak Nika." Ucap Tio mengadu.

Arunika tidak suka dipojokkan seperti ini. Ia berusaha menjelaskan jika ia tidak sengaja sebab mainan itu yang berserakan di sembarang tempat. Namun ia rasa Nenek Ratna tidak akan mempercayainya.

"Nika, kamu apa-apaan sih. Mainan Tio kenapa kamu rusak?" Tanya Nenek Ratna dengan nada tinggi.

"Nika nggak sengaja. Tio yang salah, naruh mainan sembarangan." Ucap Arunika membela diri.

"Kamu punya mata kan? Kenapa kamu nggak sisihkan mainannya dulu." Tuding Nenek Ratna.

"Nek, Tio pernah ngerusak barang kesayangan aku. Tapi aku nggak ada marahin dia sampe segininya. Tapi kenapa saat Nika nggak sengaja Nenek marahin Nika habis-habisan." Teriak Arunika meluapkan kekesalannya.

Tio yang merasa marah, langsung berlari ke dapur. Tangannya meraih sebuah pisau lalu diarahkannya pisau itu ke Arunika. Tio mengamuk seperti anak yang sedang kerasukan.

"Pergi kamu! Pergi!" Teriak Tio dengan menodongkan sebuah pisau ke arah Arunika.

Tentu saja Arunika ketakutan. Nenek Ratna menahan tubuh Tio agar tidak melukai Arunika. Sebab, pisau yang Tio bawa sangat tajam. Arunika memilih pergi. Membawa sepedanya keluar. Tio terus mengamuk di rumah. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik dan terus memaki Arunika dengan berbagai kalimat menyakitkan. Samar-samar Arunika mendengar suara Tio.

Anak itu terus berteriak histeris. Tangan Arunika yang tengah menyetir sepeda, langsung berkeringat. Kayuhannya semakin lama semakin terasa berat. Arunika berhenti. Ia turun dari sepeda. Kemudian ia mendudukkan dirinya di bawah pohon. Lalu Arunika berusaha mengatur nafasnya. Lagi-lagi rasa sesak itu kerap datang ketika ia merasa ketakutan.

"Bunda kapan pulang. Nika butuh Bunda." Lirihnya.

"Nika sendirian di sini Bund." Lanjutnya.

Setelah keadaan mulai membaik, Arunika segera bangkit dari duduknya. Ia tidak ingin pulang. Ia ingin mengelilingi desa dengan sepedanya. Meskipun mentari telah berada tepat di atas kepala, Arunika tetap mengayuh sepedanya mengelilingi desa.

Setelah merasa puas dan perasannya mulai tenang. Arunika kembali ke rumah. Kondisi rumah sangat berantakan. Pecahan barang terlihat berserakan. Arunika masuk ke dalam kamar. Ia meraih wadah yang berisi uang tabungannya. Ia berniat mengganti mainan milik Tio.

Sore harinya Arunika membeli mainan yang sama persis. Kemudian ia memberikan itu kepada Tio. Namun, saat Arunika menyerahkan mainan itu, Tio membuangnya. Ia tidak menerima pemberian itu.

"Kok dibuang sih." Kesal Arunika.

"Aku nggak mau." Balas Tio.

"Aku udah minta maaf. Aku juga udah usaha ganti mainan kamu. Kenapa malah kamu buang mainannya?" Tanya Arunika dengan air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya.

"Arghhh, aku bilang nggak mau ya nggak mau." Bentak Tio.

Tangan anak itu juga mendorong tubuh Arunika hingga terjatuh. Lagi-lagi, luka yang didapat oleh Arunika. Lututnya tergores. Darah mengalir dari luka itu.

"Pergi dari rumah ini. Aku nggak suka ngelihat kamu di sini." Teriak Tio.

Nenek Ratna datang. Melihat Arunika yang tengah tersungkur dilantai.

"Kamu ngapain, cepetan berdiri. Pergi dari hadapan Tio sekarang juga." Titah Nenek Ratna.

Arunika segera bangkit dan mengobati lukanya. Sebab tidak akan ada yang mau mengobati lukanya. Apalagi luka batin dan trauma yang ia punya.
Saat di kamar, Arunika mendapat panggilan telepon dari bundanya. Bunda Sukma berkata jika besok Bunda Sukma akan pulang. Tentu saja Arunika merasa senang. Setidaknya ada bundanya yang menemani kesehariannya di tengah luka dan kecewa.

"Bunda besok pulang. Nika jangan kasih tau siapa-siapa ya." Pesan Bunda Sukma.

"Iya Bund." Balas Arunika.

Kemudian panggilan itu segera berakhir. Arunika meraih plaster untuk menutupi luka yang ada di lututnya itu.

Setelah itu Arunika segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya agar segera terlelap. Kemudian berjumpa esok hari yang setidaknya tidak sesakit hari ini.
Hari ini sangat melelahkan dan menyakitkan. Bahkan hari ini bukan hanya batinnya yang terluka. Lutut kakinya juga ikut terluka.

Bersambung....

Spam Next kuyyy
>>>>

Rumah yang Tak Lagi Ramah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang