Sepasang alis Binar yang dicukur rapi, langsung terangkat tinggi begitu menyadari sosok Tante Liz di depan meja Kak Erin. Waktu istirahat telah berakhir sejak lima belas menit yang lalu, tetapi bukannya bergegas kembali ke meja kerjanya, wanita itu justru bertahan di ruangan mereka. Itu artinya Tante Liz dan Kak Erin sedang berbagi gosip murahan, atau mendengarkan rahasia orang lain melalui ponsel Kak Erin yang diletakkan di tengah-tengah meja.
Baik Tante Liz maupun Kak Erin serentak meletakkan jari telunjuk di tengah bibir. Itu artinya Binar dilarang mengeluarkan suara, agar orang di seberang telepon tak menyadari kehadirannya. Dengan sikap tak acuh Binar mengangkat bahunya, tetapi segera membesarkan mata begitu mendengar suara Aril melalui pengeras suara.
"Aku enggak ngomong apa-apa, memang dia yang terlalu sensitif."
"Binar memang sensitif, tapi dia enggak pernah memblokir orang lain tanpa alasan." kata Kak Erin yang ditimpali Tante Liz dengan anggukan kepala.
"Iya loh, Ril. Walaupun Tante sering sakit hati karena mulutnya yang jabir itu, tapi Tante juga mengakui kalau Binar enggak suka cari masalah dengan orang lain. Karena itu pasti ada alasan kenapa dia tiba-tiba memblokir kamu."
"Aku harus gimana supaya Kakak dan Tante percaya sama aku?"
"Memangnya kalian sedang membahas apa waktu itu?"
"Awalnya Binar cerita soal teman kuliahnya yang meninggal karena dibunuh suamina, lalu dia marah karena aku bilang kita enggak bisa men-judge siapapun, sebelum mendengar penjelasan dari pihak suaminya. Yang namanya suatu permasalahan itu kan memang harus didengar dari dua sisi, tapi dia marah karena aku enggak membela temannya, dan langsung main blokir aja. Kekanakan banget kan?"
"Benar masalahnya cuma itu?" tanya Kak Erin setelah menilai ekspresi Binar yang terlihat tidak terima dengan penjelasan Aril.
"Iya, Kak. Sumpah."
"Oh, oke." sahut Kak Erin, "Terus kamu maunya bagaimana? Tujuan kamu nelepon Kakak ini apa?"
"Suruh Binar membuka blokirannya," kata Arun mengundang kerutan di dahi Kak Erin, "Sekalian nasehati dia supaya jangan kekanak-kanakan. Masalah begitu ada masalah sedikit aja, langsung main blokir. Pantesan aja dia enggak nikah-nikah, meski udah mau masuk kepala tiga. Sikapnya aja seperti itu."
Bukan Binar, melainkan Tante Liz yang mempertanyakan kalimat pemuda itu, "Memangnya kenapa kalau Binar belum menikah?"
"Enggak laku kan?" sahut Aril enteng, "Harusnya dia bersyukur karena aku tertarik sama dia, bukannya malah jual mahal."
"Panteslah kau diblokir sama dia," kata Kak Erin yang tak lagi mencoba untuk mempertahankan sikap sopannya, "Asal kau tahu aja ya, Abang iparku berkali-kali ngemis minta dikenalkan dengan Binar. Kau pikir apa kurangnya Abang iparku? Ganteng, karir sebagai pengacara bagus, uangnya juga banyak. Kalau bukan karena antrian mantan pacarnya yang bejibun itu, udah dari dulu mereka ku kenalkan, tapi Binar cewek baik-baik dan dia pantas untuk dapat laki-laki baik juga. Dan kalau aku tahu sifat aslimu seperti ini, enggak mungkin aku mau memperkenalkan kalian."
"Astaga, Kak. Aku cuma bercanda loh."
"Lain kali kalau mau bercanda, kau pikir dulu pakai otak."
"Kok kayak gitu bicaranya? Aku dari tadi udah sopan loh, Kak."
"Sopan?!" sahut Tante Liz histeris, "Jelas-jelas kau ngatain Binar enggak laku, kok masih percaya diri ngaku sopan? Kau pikir sopan santun itu sebatas enggak ngomong kotor?"
"Astaga, Tan. Aku cuma bercanda loh."
"Udahlah, Rin. Matikan aja. Naik tekanan darahku ngomong sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 (Slow Update)
General FictionTentu saja Binar ingin jatuh cinta seperti gadis lainnya, tetapi sepertinya cupid tidak terlalu menyukainya. Atau setidaknya begitulah pemikiran gadis itu, karena menjelang menginjak usia kepala tiga, tiba-tiba saja ada begitu banyak pria yang menco...