-7 : Mulut Elok

1.3K 343 62
                                    

Sebenarnya Felix tidak sekadar mengarang cerita ketika mengatakan Binar tergila-gila dengan babi panggang. Saat ini saja, kalau bukan karena memikirkan kesehatannya, pastilah gadis itu sudah menambahkan potongan daging berlemak itu ke dalam piring untuk yang kesekian kalinya. Namun Binar juga sadar kalau metabolisme tubuhnya berubah seiring dengan beranjaknya usia. Meski kegiatan dan pergerakannya sehari-hari cukup tinggi, proses pencernaan makanan di dalam tubuhnya tetap tak secepat sebelumnya, karena itulah ia memaksakan diri untuk berhenti setelah menghabiskan sekitar seperempat kilo daging untuk dirinya sendiri.

"Loh? Udah kenyang?" tanya Tarida Simanjuntak keheranan, karena biasanya porsi makan Binar hampir menyaingi kedua Tulangnya.

"Udah, Pung." sahut Binar sambil menepuk-nepuk perutnya yang untungnya tak terlalu buncit, karena ia memang tidak mengonsumsi karbohidrat malam ini, "Udah hampir meledak ini.

"Tumben, Bee?" tanya Daisy yang adalah anak dari Tulang tertuanya, "Lagi enggak enak badan, ya?"

"Enggak kok, Kak."

"Terus kenapa makannya cuma sedikit?"

"Tadi sore aku makan dengan Bos, jadinya masih kenyang sampai sekarang." kata Binar sambil meraih sepotong semangka untuk menghilangkan sensasi lemak yang masih memenuhi mulutnya, "Kayaknya lambungku mulai males-malesan mencerna makanan, jadi kenyangnya bertahan lebih lama," sambung gadis itu dengan nada sok tahu.

"Pengaruh usia itu," celetuk Johan yang adalah anak dari Tulang termudanya, "Tua!" tambahnya sambil meleletkan lidah untuk mengejek Binar yang membalas dengan acungan tinju dan gelak tawa.

"Pikirkan umurmu, Binar. Kau udah hampir kepala tiga loh. Kapan lagi kau mau berumah tangga?"

Pertanyaan yang dilemparkan oleh Kakak perempuan Lasta itu, sontak mengubah suasana di meja makan menjadi tidak nyaman. Dari sudut matanya, Binar melihat Abimanyu memperlambat kunyahan, sementara Lasta tak segan-segan memperdengarkan dengusan gusar. Yang paling tak enak hati sudah barang tentu Johan, karena ia hanya bercanda ketika mengejek Binar dengan sebutan tua. Mereka sering mengatakan hal semacam itu kepada satu sama lain, tetapi mungkin Johan lupa, sebaiknya mereka memang tidak mengungkit-ungkit usia selagi berada di sekitar para tetua.

"Kapan-kapan, Mak Tua." akhirnya Binar hanya mengatakan itu dengan cengiran menghiasi wajahnya.

"Kau itu memang enggak bisa diajak bicara serius, ya?" kecam Rolas kepada keponakannya itu, "Sepupu yang seumuran denganmu sudah menikah semua. Cuma kau yang enggak jelas tujuan hidupnya." tambahnya membuat tubuh Abimanyu menegang seketika.

Kemudian Rolas menunjuk putri bungsunya, yang tengah menghabiskan makan malam sambil menggendong bayinya yang baru lahir beberapa bulan lalu, "Lihat itu si Elise. Padahal dia lebih muda dari kalian berdua, tapi sudah menikah dan punya anak. Memangnya kalian enggak malu kalah sama dia?" katanya sambil memandang Binar dan Elok bergantian.

Kalau Binar sering dituduh memiliki lidah tajam, maka Elok adalah jelmaan iblis sesungguhnya. Gadis cantik itu bahkan tidak berkedip, yang menandakan ia tidak memiliki keraguan, ketika melontarkan jawaban sarat akan penghinaan, "Ngapain malu sama orang yang nikah karena bunting duluan?"

"Elok?!" tegur Abimanyu yang hampir tersedak karena ucapan putri keduanya itu.

Sementara Lasta yang sadar kalau anak keduanya memang brutal dan tak bisa dihentikan, dengan pasrah memijat kening sambil mengeluh pelan, "Ya, Tuhan."

"Sudahlah, Bere. Sudah. Malu kita kalau didengar orang." James Panjaitan, yang adalah saudara tertua Lasta, mencoba untuk menghentikan keponakannya yang memang terkenal keji itu.

Diantara helaan napas dan gumaman yang saling bersahutan itu, Elok mengangkat alisnya untuk membalas tatapan Rolas, yang sampai gemetar karena tak bisa menahankan kemarahan. Seharusnya wanita tua itu berhenti sampai di sana, tetapi alih-alih menutup mulutnya, ia justru memberi Elok alasan lain untuk menyemburkan racun berbisanya.

-30 (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang