"Baik, kita putuskan seperti itu saja. Ke depannya Erin dan Sabda saling bekerjasama, supaya enggak ada masalah seperti sebelum-sebelumnya. Apalagi keterlambatan gaji karyawan, itu fatal sekali. Jangan sampai terulang lagi."
"Baik, Pak."
"Selanjutnya," kata Felix sambil mengusap layar tabletnya untuk memeriksa poin rapat berikutnya, "Hm, apa ini? Perusahaan tambang menunggak pembayaran BBM dan servis kendaraan kantor selama dua bulan?" tanyanya dengan nada tak mengerti.
Kemudian pria itu mengalihkan tatapannya kepada Tante Liz, yang secara otomatis menundukkan kepala untuk berpura-pura membaca berkas di tangannya, "Tambang bangkrut? Memangnya berapa biaya bahan bakar dan servis kendaraan selama dua bulan terakhir, sampai kalian enggak bisa membayarnya?"
"Dua juta rupiah, Pak." bukan Tante Liz, melainkan Kak Erin yang menjawab, "Itu sudah termasuk dengan biaya kebersihan mobil."
"Dua juta rupiah itu sudah dibagi dua?"
"Belum, Pak."
"Berarti masing-masing perkebunan dan pertambangan, hanya perlu membayar satu juta rupiah untuk dua bulan terakhir. Dengan kata lain, lima ratus ribu rupiah setiap bulannya?"
"Benar, Pak."
"Biasanya enggak sampai sebanyak itu, Pak." kata Tante Liz ketika Felix mulai mengetukkan jemarinya pada permukaan meja, tanda suasana hati pria itu berubah menjadi tidak baik, "Biasanya masing-masing perusahaan hanya membayar sekitar tiga ratus ribu rupiah setiap bulannya, karena itulah Pak Heru heran kenapa tiba-tiba biayanya meningkat sampai hampir seratus persen. Katanya, Pak Heru sendiri yang akan membicarakan hal ini dengan Bapak."
"Saya sudah berkali-kali menjelaskan pada Kak Liz, perbedaan biaya itu muncul karena sebelumnya kami dari pihak perkebunan, sering bepergian dengan menggunakan mobil Om Arpan." sergah Kak Erin dengan raut jengkel.
Kemudian wanita itu menjelaskan kepada Felix, "Pihak tambang sering menggunakan mobil kantor sampai berjam-jam lamanya, sampai saya dan anak-anak perkebunan enggak punya pilihan selain menumpang pada Om Arpan, karena kami juga punya urusan yang harus diselesaikan. Masalahnya dua bulan terakhir Om Arpan lebih banyak ditugaskan ke Bengkulu, sehingga kami enggak bisa menumpang lagi, dan terpaksa harus menunggu mobil kantor. Jadi sebenarnya bukan bahan bakar mobil kantor yang meningkat, melainkan selama ini pengeluaran mobil Om Arpan yang membengkak karena kami tumpangi."
"Pak Heru pernah melihat Kakak dan Binar mengendarai mobil kantor di luar jam kerja," tiba-tiba saja Stevi mengatakan itu.
"Kami memang pernah menggunakan mobil di luar jam kerja, karena kalian membawanya selama jam kerja," balas Kak Erin, "Justru kami yang harus protes, karena sejak pihak tambang ikut menggunakan mobil kantor, urusan kami banyak yang terbengkalai. Padahal itu mobil perkebunan, tapi kalian bersikap seakan-akan kami yang menumpang," tambahnya yang disetujui Binar lewat anggukan kepala.
"Jadi kalian menunggak pembayaran sampai Erin enggak bisa menutup laporannya, hanya karena kenaikan biaya bahan bakar sebanyak dua ratus ribu rupiah?" Felix memastikan dengan raut keheranan.
"Bukan seperti itu, Pak." sahut Tante Liz, "Pak Heru enggak mempermasalahkan kenaikan biaya bahan bakar, selama kendaraannya memang digunakan untuk bekerja. Masalahnya Pak Heru beberapa kali mendapati Erin dan Binar menggunakan mobil kantor di luar jam kerja, karena itu dia berpikir enggak adil kalau kami membayar dalam jumlah yang sama, ketika kendaraan digunakan untuk urusan pribadi."
"Bahkan Pak Heru pernah melihat Binar membawa mobil kantor ke Gereja," kata Stevi melengkapi.
Terang saja Binar melongo dituduh seperti itu, "Kapan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 (Slow Update)
Narrativa generaleTentu saja Binar ingin jatuh cinta seperti gadis lainnya, tetapi sepertinya cupid tidak terlalu menyukainya. Atau setidaknya begitulah pemikiran gadis itu, karena menjelang menginjak usia kepala tiga, tiba-tiba saja ada begitu banyak pria yang menco...