Jam digital yang melingkari pergelangan Binar sudah menunjukkan angka 16.30 waktu setempat ketika akhirnya gadis itu tiba di Bandara Internasional Sultan Syarif kasim II. Biasanya ketika diminta untuk menjemput Felix ataupun tamu lainnya, Binar akan tiba setengah jam lebih cepat dari waktu kedatangan, tetapi hari ini ia terlambat karena harus pulang lebih dulu ke mess untuk mengamankan uang sewa ruko yang dibayarkan secara tunai, sekaligus bertukar kendaraan dengan mobil dinas Felix. Sebenarnya atasannya itu tidak pernah mempermasalahkan kendaraan yang digunakan untuk menjemputnya, tetapi mobil kantor tidak sedang dalam kondisi terbaik, karena sudah hampir dua Minggu tak diantarkan ke tempat pencucian. Meskipun sebenarnya itu tugas Om Arpan sebagai seorang sopir, tetapi Binar tidak akan luput dari omelan, bila ketahuan membiarkan kendaraan kantor berubah menjadi dekil. Lagipula ia memang diberi kepercayaan untuk sesekali menggunakan kendaraan dinas Felix agar tidak rusak karena seringkali dianggurkan. Karena itulah Binar memaksakan diri untuk pulang ke mess, meski harus berakhir dengan ngebut-ngebutan, demi memastikan dirinya tak terlambat menyambut sang atasan.
Dengan napas ngos-ngosan, Binar memeriksa papan pengumuman, untuk memastikan tidak ada perubahan dalam jadwal penerbangan Felix maupun Sabda. Meski mengambil penerbangan berbeda, mengingat Felix berangkat dari Singapore sementara Sabda terbang dari Jakarta, untungnya kedua orang itu akan tiba pada waktu yang sama. Binar tidak bisa membayangkan betapa canggungnya ia bila Sabda lebih dulu tiba, mengingat mereka belum saling mengenal satu sama lain. Dan ia akan sangat kerepotan bila Felix yang mendarat lebih dulu, karena pria itu pasti tidak mau membuang-buang waktunya dengan menunggu di Bandara. Itu artinya Binar harus lebih dulu mengantarkan atasannya itu ke tempat kediamannya, baru kemudian memutar kembali ke Bandara untuk menjemput Sabda. Membayangkannya saja sudah membuat Binar bergidik, karena teringat pada kemacetan yang harus dilaluinya dalam perjalanan kemari tadi.
Karena masih ada waktu lima belas menit sebelum waktu kedatangan, Binar beranjak menghampiri gerai Roti 'O guna membeli beberapa camilan, yang rencananya akan dijadikan sebagai buah tangan ketika berkunjung ke rumah Ompungnya. Sejak beberapa hari lalu pasangan paruh baya itu sudah berkali-kali mengingatkan anak dan cucu mereka melalui pesan grup keluarga, untuk menyisihkan waktu guna mengunjungi mereka. Rencananya mereka akan mengadakan makan malam keluarga, dan karena pasangan paruh baya itu tak lagi bisa menikmati makanan dengan tekstur keras, maka Binar berinisiatif untuk membelikan berbagai jenis roti empuk yang memang disukai keduanya. Tidak lupa ia membeli sebotol air mineral dingin untuk menuntaskan dahaganya. Kemudian agar ia tidak kerepotan dengan plastik berisi kotak-kotak makanan, Binar kembali ke parkiran untuk menyimpan oleh-olehnya tersebut di dalam mobil.
Waktu lima belas berlalu dengan cepat karena diisi dengan banyak kegiatan. Sampai-sampai ketika ia kembali memeriksa papan pengumuman, Binar terkejut karena pesawat yang ditumpangi oleh Felix dan Sabda sudah mendarat. Berbekalkan informasi tersebut ia berdiri di depan pagar yang membatasi pintu kedatangan, lalu bergegas mengirim pesan pada sang atasan.
Binar : Saya di pintu kedatangan, Pak.
Pak Bos : Oke, Binar.
Sambil mengetuk-ngetuk pagar pembatas dengan jemarinya, Binar menantikan kedatangan Felix dan Sabda yang kemungkinan masih tertahan oleh urusan bagasi. Tentu saja dugaannya itu tidak benar, karena tiba-tiba saja ia sudah melihat sosok atasannya, berjalan menuju pintu keluar bersama seorang pemuda jangkung di sampingnya. Dengan hati nelangsa Binar menegur dirinya sendiri, karena berani-beraninya menyamakan kemiskinannya dengan Felix. Tentu saja pria itu hanya menggunakan fasilitas terbaik untuk dirinya maupun barang-barang bawaannya. Itu kenapa Felix dan Sabda tidak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lainnya, yang mungkin sedang bertanya-tanya, kenapa bagasi mereka tak kunjung tiba.
"Selamat sore, Pak!" sapa Binar dengan senyuman lebar untuk menyembunyikan rasa letihnya di depan Felix yang tampak segar bugar, sehabis melakukan penerbangan nyaman selama lebih dari lima jam. Berbeda dengan Binar yang sejak matahari terbit, sudah pontang-panting demi memastikan seluruh pekerjaannya terselesaikan. Untung saja rambutnya yang pagi ini dicatok oleh pekerja salon masih terlihat lurus dan halus. Dengan begitu setidaknya ia terlihat rapi di depan atasan yang sudah lama tak dijumpainya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 (Slow Update)
General FictionTentu saja Binar ingin jatuh cinta seperti gadis lainnya, tetapi sepertinya cupid tidak terlalu menyukainya. Atau setidaknya begitulah pemikiran gadis itu, karena menjelang menginjak usia kepala tiga, tiba-tiba saja ada begitu banyak pria yang menco...