-5 : Daun Muda vs Daun Tua

1.5K 364 33
                                    

"Selamat pagi, anak cantik."

"Hai, Mami gulaku."

Pagi-pagi sekali Binar sudah tiba di kediaman Tante Liz. Kemarin mereka berjanji akan menghabiskan akhir pekan di salon seperti biasanya, tetapi karena hari ini Binar dianugerahi pekerjaan tambahan untuk menjemput Felix dan Sabda di Bandara, maka keduanya terpaksa harus memajukan jadwal relaksasi mereka. Beruntung pihak salon tidak ingin kehilangan pelanggan royal seperti Tante Liz, sehingga bersedia membuka salonnya dua jam lebih cepat untuk melayani mereka.

"Hari ini sibuk ya, say?" tanya Tante Liz setelah mengenakan sabuk pengamannya.

Sesaat pertanyaan itu terabaikan, karena Binar sibuk menekan klakson sekaligus membuka jendela pengemudi, untuk menyapa penjaga pos keamanan.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, Kak Binar. Selamat pagi, Ibu Liz. Hati-hati di jalan, ya."

"Terima kasih."

Setelah beramah-tamah dengan petugas keamanan yang sampai hapal pada namanya karena seringkali berkunjung ke perumahan ini, barulah Binar menjawab pertanyaan Tante Liz sebelumnya, "Wah! Bukan sibuk lagi, Tan. Ini sih udah bisa dihitung lembur kayaknya." keluhnya mengundang tawa wanita di pertengahan usia empat puluh itu, "Sehabis dari salon nanti, rencananya aku langsung ke Garuda Sakti untuk menyelesaikan transaksi sewa, sekaligus menyerahkan kunci ruko. Setelah itu baru deh ke Bandara."

"Loh? Ruko di Garuda Sakti disewakan lagi? Bukannya mau dijual?"

"Tadinya sih seperti itu, malah udah sempat diiklankan, tapi Pak Felix berubah pikiran karena daerah Garuda Sakti sudah mulai ramai. Harga sewanya meningkat dua kali lipat loh, Tan."

"Serius?"

"Iya," jawab Binar sembari membelokkan kendaraan memasuki pelataran salon yang sepi, "Ruko kembar juga udah ada yang nanyain, tapi belum deal karena butuh beberapa perbaikan. Karena itulah sejak Minggu lalu Om Arpan enggak pernah muncul di kantor, dan akhirnya aku yang ditunjuk untuk menjemput Bapak."

Sebenarnya perusahaan tempat Binar bekerja menyediakan jasa sopir untuk mempermudah kegiatan karyawan, tetapi sopir mereka yang multitalenta itu seringkali harus berkamuflase menjadi mandor bangunan, ketika salah satu aset tak bergerak milik Felix memerlukan perbaikan. Itulah kenapa setiap karyawan diharuskan memiliki kemampuan berkendara, karena tak ada yang tahu kapan Felix menugaskan sopirnya beralih profesi menjadi tukang bangunan, ataupun memperkerjakan karyawan bagian administrasi menjadi sopir pribadinya.

"Yang penting dapat komisi," hibur Tante Liz sembari melangkah memasuki salon, "Apalagi ruko ada yang nyewa, lumayan itu nanti bonusnya."

"Amin!" seru Binar kembali riang karena memikirkan rupiah yang akan mengalir ke dalam kantongnya ketika bertemu dengan Felix nanti.

"Selamat pagi, Tante Liz. Selamat pagi, Kak Binar." sapa pemilik salon yang sepertinya belum sempat menyelesaikan dandanannya ketika menyambut mereka.

"Pagi, say." sapa Tante Liz dengan senyuman ramah, "Maaf ya, karena kami datang pagi-pagi sekali. Hari ini Binar sibuk, dan aku males kalau nyalon sendirian."

"Apa sih yang enggak bisa untuk Tante Liz dan Kak Binar?" kekeh wanita cantik itu, "Jam lima subuh pun kami layani, kalau yang datang kalian berdua." tambahnya mengundang gelak tawa.

"Perawatan apa hari ini?"

Berbeda dengan Tante Liz yang datang untuk melakukan perawatan pada sekujur tubuhnya, Binar tidak pernah membiarkan pekerja salon menyentuh kukunya. Hal ini dikarenakan ia pernah membaca pengakuan anonymous di internet, yang mengatakan dirinya menderita HIV setelah melakukan perawatan pedicure dan medicure di salon. Tentu saja setelah dewasa Binar mengetahui kalau penularan HIV tidak terjadi semudah itu, karena virus mudah mati ketika berada di udara bebas, ditambah pihak salon selalu melakukan tindakan sterililasi pada alat-alat yang mereka gunakan. Namun hoax yang dibacanya ketika masih belia itu terlanjur melekat di dalam otak, karena itulah Binar lebih memilih untuk merawat dan mewarnai kukunya sendiri.

-30 (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang