"Iya, sebentar."
Dengan sabar Binar menantikan sampai pintu di depannya terbuka. Sepertinya Ningsih baru selesai mandi, karena gadis itu sedang mengeringkan rambut dengan cara mengacak-acaknya di depan kipas angin. Sementara Tia yang sudah lebih rapi, kemungkinan sedang berdandan ketika Binar datang, karena pewarna yang dikenakan gadis itu belum rata sepenuhnya. Meskipun begitu senyuman keduanya tetap secerah matahari ketika melihat siapa yang mengetuk pintu.
"Eh, Kak Binar. Cantik banget. Mau ke mana, Kak?"
"Ada, deeeeeh. Mau tahu aja anak kecil." kata Binar lengkap dengan dengusan sombong yang justru membuat kedua gadis itu terkekeh geli, "Ngomong-ngomong, Pak Sabda kan menginap di sini, karena itu tolong kalian belikan lauk makan malamnya, ya. Belikan ikan bakar di tempat langganan aku aja, tapi pilih ikannya yang masih hidup dan besar. Jangan ambil ikan yang udah dibekukan loh. Nanti rasanya kurang enak dan bau amis."
"Gurame atau bawal, Kak?"
"Gurame aja. Jangan lupa sayurnya. Kalau kalian mau, beli juga sekalian." kata Binar sambil mengangsurkan dua lembar uang.
"Asyiiiiiik!" seru Tia dan Ningsih berbarengan, "Kami beli ayam bakar ya, Kak?"
"Terserah," sahut Binar tak peduli, karena toh ia mengambil uang tersebut dari kas pribadi Felix, "Habiskan aja uangnya," tambahnya mengundang pekikan senang kedua gadis itu.
"Terima kasih, Kak."
"Ya, sama-sama." sahut Binar, "Karena Pak Sabda makannya jam tujuh, dan di sana juga sering antri karena banyak pembelinya, lebih baik kalian berangkat sekarang."
"Kalau Kakak pergi, nanti Pak Sabda makan dengan siapa?" tanya Ningsih yang tiba-tiba saja terlihat cemas karena memikirkan Binar tak akan makan malam dengan mereka.
"Dengan kalian dong, makan bertiga."
"Hah?!" seru keduanya heboh, "Enggak mau, ah! Kalau berempat dengan Kakak sih, kami enggak masalah. Kalau cuma bertiga, kami malu."
"Kenapa harus malu? Biasanya juga kalian makan bertiga dengan Pak Win," kata Binar tak habis pikir, "Kasihan loh kalau Pak Sabda makan sendirian."
"Po..pokoknya kami malu!" tegas keduanya dengan pipi bersemu.
"Jangan-jangan kalian naksir Pak Sabda, ya?" goda Binar, "Cieeeeee. Tia dan Ningsih saingan memperebutkan Pak Sabda," tambahnya membuat kedua gadis itu semakin saling tingkah.
"Apaan sih? Enggak ada yang naksir kok." elak keduanya malu-malu.
Tentu saja Binar tertawa melihatnya. Lalu, karena kedua gadis itu sudah bertekad untuk tidak makan bersama sang manajer baru, akhirnya ia berkata, "Ya, udah. Nanti makanannya antarkan aja ke kamar Pak Sabda."
"Siap, Kak. Kalau begitu, kami berangkat sekarang, ya."
"Ya, pergilah."
Sepeninggal kedua gadis itu, Binar kembali ke kamar untur mengambil tasnya. Tadi Alex sudah mengabarkan kalau sebentar lagi ia akan tiba, jadi Binar berencana untuk menunggunya di depan saja. Setelah menyalakan lampu teras sekaligus memastikan pintu kamarnya terkunci, dengan langkah santai gadis itu berjalan menuju area kantor yang sepi. Seharusnya ada tiga orang satpam berjaga di sini, tetapi kemungkinan dua orang sedang berkeliling, sementara Pak Tono yang kebagian tugas untuk menjaga pos bercakap-cakap dengan seseorang di balik pagar.
"Oh? Itu dia Ibu Binar." kata Pak Tono membatalkan niat Binar yang tadinya berencana mengistirahatkan bokongnya di kursi yang diletakkan di depan kantor, "Bu, ada tamu."
"Tamu untuk siapa, Pak?"
"Tamu untuk Ibu. Ingin bicara dengan Ibu Binar katanya."
Dengan kening berkerut Binar menghampiri perempuan berkulit cerah yang tak dikenalnya itu. Terkadang beberapa karyawan dari bengkel ataupun toko spare part langganan mereka memang datang ke kantor untuk mengantarkan tagihan ataupun mengambil pembayaran, tetapi Binar tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya. Lagipula jam kerja sudah berakhir sejak tadi, meski tentu saja Binar tetap menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 (Slow Update)
General FictionTentu saja Binar ingin jatuh cinta seperti gadis lainnya, tetapi sepertinya cupid tidak terlalu menyukainya. Atau setidaknya begitulah pemikiran gadis itu, karena menjelang menginjak usia kepala tiga, tiba-tiba saja ada begitu banyak pria yang menco...