"Kecil, ya." komentar Binar begitu memasuki ruang kedatangan Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu.
"Kamu belum pernah ke Bengkulu?"
"Pernah, kok. Tapi kami selalu mendarat di Bandara Minangkabau – Padang, lalu sisa perjalanan ditempuh lewat jalan darat."
Sabda bahkan tidak menyembunyikan rasa herannya ketika memastikan, "Dari Padang sampai ke Bengkulu naik mobil?"
"Iya. Biasanya kami ke Bengkulu itu kan untuk mengurus pembelian racun dan pupuk. Dan dari dulu racun serta pupuknya memang diambil dari Padang. Karena itulah kami harus mencari distributor untuk diajak kerjasama, melakukan pembelian, sekaligus mengawasi proses pengiriman sampai ke kebun."
"Gila! Berapa hari perjalanan itu?" tanya Sabda takjub.
"Sekarang sih karena jalannya udah bagus, satu hari satu malam juga tembus dari Padang sampai ke kebun." beritahu Binar, "Bahkan Om Arpan dalam waktu satu Minggu bisa bolak-balik dari Pekanbaru ke Bengkulu, lalu kembali lagi ke Pekanbaru."
"Terus sampai sekarang sistem belanja racun dan pupuknya masih seperti itu? Maksudnya, kamu dan Kak Erin masih harus pergi ke Padang untuk melakukan pembelian?"
"Enggak, lah. Sekarang mah kalau mau beli apa-apa, tinggal kirim email. Pembayaran juga bisa dilakukan dengan cara transfer. Karena itulah belakangan ini saya dan Kak Erin enggak pernah ke Bengkulu lagi."
"Tetap aja kalian hebat karena sanggup melakukan perjalanan darat sejauh itu," puji Sabda sebelum menambahkan dengan nada iseng, "Pernah mabuk darat enggak?"
"Siapa? Saya atau Kak Erin?"
"Kalian berdua."
"Enggak, dong. Masa sopir pribadi Pak Felix mabuk perjalanan? Enggak keren," seloroh Binar ditingkahi kekehan Sabda.
Mungkin seharusnya Binar tidak terlalu percaya diri ketika mengatakan itu, karena baru lagi satu jam sejak masuk ke dalam mobil jemputan yang dikirimkan oleh perusahaan, ia sudah diserang rasa pening dan mual. Awalnya Binar mencoba mengabaikan semua itu, dengan berpikir dirinya hanya kelelahan karena sehabis melakukan penerbangan. Namun meski ia mencoba untuk memejamkan mata, rasa tidak nyaman itu tak kunjung reda. Yang ada Binar merasakan keringat dingin mengaliri tengkuknya, diikuti sensasi asam pada seluruh bagian mulutnya. Ketika sadar kalau ia tak lagi mampu bertahan, sambil membekap mulut Binar menepuk bahu Sabda, yang memilih untuk duduk di samping sopir agar Binar dapat beristirahat sepenuhnya di kursi bagian belakang.
"Kenapa? Mau muntah?"
"Emh! Emh!"
"Minggir, Pak!" perintah Sabda seketika, "Ada plastik untuk menampung muntahan?"
Belum lagi mobil itu benar-benar berhenti, Binar sudah melesat dari tempat duduknya. Dengan langkah terseok-seok gadis itu mendekati saluran air, lalu memuntahkan isi perutnya di sana. Sabda yang menyusul kemudian, dengan sigap memegangi rambut gadis itu agar tidak terkena muntahan, sembari memberi pijatan lembut pada bagian tengkuk yang justru memancing Binar untuk muntah lebih banyak lagi.
"Bapak pergi aja," usir gadis itu lemah, "Ini kotor."
"Enggak papa," jawab Sabda prihatin, "Muntahkan aja semuanya."
Setelah memuntahkan seluruh sarapan yang disantapnya selama transit di Jakarta tadi, barulah Binar bisa mengatur napasnya. Dengan tangan gemetar gadis itu mencuci wajah sekaligus membersit hidungnya, yang terasa panas karena sebagian dari isi lambungnya keluar dari sana. Setelah menghabiskan dua botol air mineral untuk membersihkan wajah, barulah Binar berani menatap Sabda yang kini mengikat rambutnya menjadi cepolan sederhana di atas puncak kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 (Slow Update)
Ficção GeralTentu saja Binar ingin jatuh cinta seperti gadis lainnya, tetapi sepertinya cupid tidak terlalu menyukainya. Atau setidaknya begitulah pemikiran gadis itu, karena menjelang menginjak usia kepala tiga, tiba-tiba saja ada begitu banyak pria yang menco...