Hari ini Orion memilih untuk tidak masuk sekolah. Luka pukulan Sian baru terasa sakitnya setelah hampir seminggu pertandingan usai. Orion menyingkap kaus hitamnya yang menampilkan otot abs yang terbentuk dan lebam di pinggang kirinya.
"Cuma gini, Rion, luka fisik gak ada apa-apanya sama luka batin lo," ringisnya sambal kembali menurunkan kausnya.
Orion berjalan menuju dapur dan mengambil es untuk mengompres lebamnya. Ketika satu tangannya sudah digunakan untuk mengompres sementara tangan yang lain mengambil buah apel di kulkas, sebuah telepon masuk ke ponselnya. Orion kembali meletakkan apel di kulkas dan menjawab telepon itu tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo?"
"Orion, sayang, bisa jemput bunda? Sekarang bunda ada di bandara."
"Orion si—"
"Sekali aja ya, sayang? Orion gak kangen main bareng sama bunda dan ayah lagi kayak dulu?"
Orion mengepalkan tangannya diam-diam. Terbuka sudah luka yang sudah mulai mengering itu. Rasanya ia ingin berteriak dan memaki wanita ini, tapi rasa sayang terlanjur lebih besar dari semua amarah yang dipendamnya sendiri selama beberapa tahun ke belakang.
"Bua tapa? Toh kalian juga udah punya kebahagiaan masing-masing. Orion cuma anak buangan."
"Sayang, tolong, ayo sekali saja kembali temui bunda... Bunda kangen, nak...."
Helaan napas panjang terdengar dari mulut Orion. Akhirnya, laki-laki itu mengangguk, meski tak dapat dilihat oleh Eveena. "Tunggu di sana, Orion berangkat," pungkasnya sebelum mematikan sambungan telepon itu secara sepihak.
***
Orion menghentikan mobilnya tak jauh dari seorang wanita berumur tiga puluh tahunan yang masih tampak menunggu. Wanita itu masih tetap terlihat sangat cantik, dengan wajah putih yang terpoles makeup tipis yang terkesan elegan. Outer cokelat selutut yang dipadukan dengan celana hitam dan kemeja putih menambah kesannya di mata orang.
Orion beruntung, mobil yang digunakannya kini adalah salah satu koleksi BMW milik Demian, jadi ia bisa melihat wajah yang sebenarnya sangat dirindukannya itu lebih lama tanpa termakan gengsi. Perlahan, Orion membuka pintu mobil dan mendekati Eveena yang sudah terlihat gusar.
"Sayang," Eveena tersenyum ketika melihat Orion mendekat. "Bunda kira Orion gak akan datang...."
"Orion gak pernah ingkar janji."
Eveena menunduk, merasa tersindir dengan ucapan putra semata wayangnya. Melihat itu, Orion berusaha menghilangkan gengsinya dan merangkul pundak sang bunda. Laki-laki itu membawa Eveena mendekati mobil BMW 320i sport berwarna abu yang tak jauh dari sana.
"Ini mobil Orion?"
"Punya temen."
Eveena mengangguk paham. Orion membukakan pintu penumpang, mempersilahkan Eveena masuk, meski wajahnya tetap datar. Entah kenapa wajah itu akan sangat datar dan dingin jika berhadapan dengan beberapa orang, namun ia tidak bisa mengabaikan orang tersebut, seperti sang bunda. Orion masuk ke mobil setelah memastikan Eveena duduk nyaman di kursinya.
Hening menyelimuti selama perjalanan. Orion memilih untuk fokus ke depan sementara Eveena memandang keluar jendela, mencari topik pembicaraan dengan putranya yang sudah hampir lima tahun ditinggalkannya untuk merintis perusahaan fashion di Australia.
"Sekolah Orion gimana, sayang?"
"Baik."
"Uang dari bunda kamu pakai 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [END]
Teen FictionBagi Rigel, Orion adalah rival yang paling menyebalkan sejauh ia mengenal laki-laki keturunan Australia itu. Orion selalu berusaha mengganggunya, dan tidak pernah memberikan memori yang indah untuk Rigel. Tapi Orion, dia adalah orang yang paling men...