"Anjir lah, padahal tadi terang," keluh gadis yang masuk dalam keadaan kuyup melewati gerbang utama sekolah dan berjalan sambil memeluk diri sendiri. "Dingin... gue lupa bawa jaket lagi."
Gadis itu berjalan pelan menuju kelasnya. Angin dingin yang menerpa terasa menusuk tulang, membuatnya ingin segera duduk di bangkunya dan bergelung di alam mimpi.
Ketika berbelok menuju kelas, tiba-tiba wajahnya tertimpuk sesuatu. Seragam lengkap, vest kering, serta sebuah hoodie tergambar huruf kanji di belakang punggung kini sudah berada di tangannya. Ia mengedarkan pandang, dan menemukan seorang laki-laki tengah bersandar di tembok luar kelasnya sembari membaca komik dengan susu kotak full cream yang tengah diseruputnya pelan.
"Lo yang ngelempar ini?"
Laki-laki itu menoleh. Wajah teduh yang datar itu terus menelisik tubuh kuyupnya, seakan paham jika ia tengah kedinginan. "Ganti dulu sana, seragam lo nerawang kalo lagi basah."
Gadis itu membelalak, kemudian langsung berlari menuju toilet yang tidak jauh dari kelas mereka. "Orion sialan!" umpat gadis itu ketika hendak masuk toilet, namun masih bisa didengar oleh laki-laki yang masih setia di tempatnya.
Orion tergelak. Laki-laki itu beranjak masuk ke kelas sambil menggeleng heran, senyum terus mengembang sempurna meskipun sudah duduk manis di bangkunya, deretan kedua kursi dekat jendela yang mengarah pada lapangan basket.
Rigel masuk ke kelas bersungut-sungut dengan menggunakan hoodie yang kebesaran di tubuhnya. Orion kembali tergelak, di matanya kini gadis itu sangat menggemaskan.
Rigel mengacungkan dua jari tengahnya pada Orion dengan wajah mencebik kesal. Orion berusaha mati-matian agar tidak menggigit pipi Rigel gemas, ia paham gadis itu belum sepenuhnya mengingat Orion dan selalu menganggap laki-laki itu sebagai rivalnya.
Akhirnya Rigel duduk di kursinya setelah tidak mendapat respon yang berarti dari Orion, di pojok belakang yang sederet langsung dengan Orion. Gadis itu menatap punggung lebar Orion yang kini tengah berebah di meja, iris emerald itu jelas melukiskan rindu, namun lebih memilih memendamnya untuk menyembuhkan semua luka yang ada.
"Waduh, pagi-pagi konstelasi sama bintang kesayangannya udah satu ruangan guys!" suara cempreng yang terkesan lembut membuyarkan pagi tenang Rigel. Gadis itu berdecak saat game online yang dimainkannya menunjukkan gambar AFK.
"Dion anj*ng. AFK kan gue!" teriak Rigel frustasi.
Dion tertawa keras. Ia langsung menduduki kursi kosong di samping gadis yang tengah kembali fokus pada game FPS dan menarik bahunya mendekat.
Rigel kembali berdecak, namun jemarinya masih lihai menembak satu persatu musuh dalam game. Dion menggebu-gebu menyemangati gadis itu dengan segala kehebohan yang dibuatnya.
"Minimal lo juga masuk lobby dan bantu gue push rank lah, nyet," cecar Rigel mengakhiri matchnya kali itu.
"Oke, gue masuk lobby."
Dion mengeluarkan ponsel yang khusus digunakannya untuk bermain game dan membuka game yang sama dengan Rigel. Selang beberapa saat, Dion dan Rigel sudah tenggelam dalam permainan sembari sesekali melempar umpatan dan tawa.
Mendengar kegaduhan di belakang sana, Orion mengangkat kepala dan tersenyum tipis melihat kedekatan dua teman sekelasnya. Namun tak lama, ia harus kembali menelungkupkan kepala sebab denyut yang terasa nyeri di kepala.
***
Orion berjalan pelan menyusuri koridor kelas XI dengan tatapan lurus. Semua bagian koridor mulai dipenuhi siswa-siswi yang hendak pergi ke kantin mengingat bel istirahat sudah berdering beberapa menit yang lalu. Ia kadang melambai dan tersenyum pada beberapa siswa yang menyapanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [END]
Novela JuvenilBagi Rigel, Orion adalah rival yang paling menyebalkan sejauh ia mengenal laki-laki keturunan Australia itu. Orion selalu berusaha mengganggunya, dan tidak pernah memberikan memori yang indah untuk Rigel. Tapi Orion, dia adalah orang yang paling men...