Rasa Yang Berbeda

2 0 0
                                        

Pulang sekolah, Rigel terpaksa menunggu Demian sebab chat yang tadi dikirimkan laki-laki itu. Lama-lama, jika dipikirkan, Demian terlihat semakin aneh. Ia menunggu sambil duduk di kursi beton di bawah naungan pohon bonsai besar yang rindang dengan kaki terayun pelan di udara. Lapangan masih ramai, tapi hatinya tetap terasa sepi tanpa Orion. Poros dunianya terasa menghilang.

"Cepet bangun, guardian. Ternyata dunia sepi tanpa lo...."

Rigel menendang beberapa kerikil kecil di samping kakinya. Bosan sekali harus menunggu Demian tanpa melakukan apapun.

"Gimana? Udah ngerasain sepi yang sama kayak gue waktu Orion mulai merhatiin lo?"

Kepala gadis itu mendongak, menemukan Anne yang berkacak pinggang di depannya. "Maksud lo?"

"Lo udah ngerasain apa yang gue rasain, Ri. Selamat."

Rigel hendak beranjak ketika tangan gadis itu mencengkram lengan Rigel yang terluka dari balik jaket yang dikenakannya.

"Sakit, lepas, goblok!"

"Sakit gue lebih dari sakit lo ini, bang*at!"

Anne malah makin mencengkram lengan Rigel lebih kuat, membuat gadis itu meringis. Cengkraman itu menguat semakin ia memberontak. Detik itu ia merasa lemah, namun terus berusaha menahan tangis. Tiba-tiba sebuah tangan kekar menghempas tangan Anne dari lengan Rigel ketika lengan gadis itu terasa remuk.

"Lo kalo gila gak usah ngebahayain orang, goblok!" seakan berubah seratus delapan puluh derajat, Demian bisa berkata kasar seperti itu pada seorang perempuan. Padahal sejauh ia mengenal laki-laki itu, Demian adalah sosok lembut yang sangat menghormati perempuan dan, cengeng. Tapi ia adalah orang yang bisa diandalkan selain dirinya dalam tim, itu sebabnya ia mempertahankan Demian.

"Gue gak akan biarin Rigel tenang sebelum dia mati! Kalau gue gak bisa dapet Orion, dia juga nggak!" Anne berteriak di depan wajah Demian. Namun laki-laki itu bergeming, menunjukkan ketenangan misterius yang bisa membuat Anne perlahan mundur sesaat kemudian.

"Mau bikin Rigel mati? Yakin?" saat itu, Anne bisa melihat senyum miring jelas tercetak di wajah rupawan Demian. "Tahu gak, kalau tangan lo bisa patah detik ini juga kalau gue lepas kendali?"

Anne terhenyak. Bagaimana bisa laki-laki barbar seperti Demian bisa terlihat sangat menyeramkan begini? Ia beringsut makin mundur.

"Pergi."

Satu kata dari Demian, dan Anne langsung berlari menjauh dengan wajah membias takut. Rigel diam, tidak bisa lagi mencerna apapun yang terjadi di depannya kali ini sampai Demian berbalik dan meraih tangannya dengan lembut, menyingkap jaket yang menutupi luka di lengan Rigel.

"Lo gak pa-pa 'kan? Dia ngapain?"

Rigel menggeleng. "Gue capek."

"Pulang, ya?"

"Mau ketemu Orion."

Demian menghela napas. Ia mengangguk sebentar, kemudian menggiring Rigel memasuki mobil hitamnya. Membawa gadis itu menuju rumah sakit tempat Orion masih terbaring. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain ini, mempertemukan dua raga yang terpisah dimensi.

***

Rigel menarik sebuah kursi mendekat ke brankar Orion. Laki-laki itu masih sama, terlelap dengan wajah tenangnya yang selalu membuat Rigel takut. Rigel takut ditinggalkan lagi. Perlahan, tangannya terangkat untuk mengusap sayang rambut Orion.

"Hei, gue dateng lagi. Lo gak mau bangun?" monolog Rigel, yang tentu saja takkan dibalas Orion. Gadis itu beralih menatap patient monitor yang senantiasa menampilkan detak jantung Orion. "Semua kerasa gak nyata tanpa lo."

Lacuna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang