Pamit

2 0 0
                                    

Banyak yang sudah ditinggalkannya sejak kejadian tempo hari. Ulangan, pelajaran, bimbel, bahkan semua hal menarik tentang basket. Padahal rasanya tidak lama, tapi sudah begitu banyak saja pekerjaannya. Ditambah ujian kenaikan kelas yang akan berlangsung seminggu lagi setelah ujian kelulusan kelas XII minggu lalu.

"Ri, lo bisa?" Dion meletakkan botol air mineral di meja Rigel yang masih tampak menyalin rangkuman dari buku salah satu murid di sana—tentu bukan Dion, karena laki-laki itu jelas akan mengabaikan penjelasan guru dan memilih tidur.

"Aman," Rigel menjawab seadanya.

"Mau gue bantu?"

"Gak, tulisan lo jelek."

Dion mencebik kesal sambil melirik Rigel tajam. Laki-laki itu akhirnya memilih mengeluarkan ponsel dan memainkan game. Setidaknya ia menemani Rigel menyalin catatan meski tidak melakukan apapun.

"Di, bisa gak jangan ngegame di sini? Berisik."

Dion menoleh. Rigel tampak sinis sambil memainkan penanya di meja. Laki-laki itu menaik turunkan alisnya dengan senyum menggoda, menyodorkan ponselnya pada Rigel.

"Mau login? Push rank udah sih, gak usah belajar."

Sontak saja Rigel memukul bahu Dion dengan buku paket tebal, cukup untuk membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Ia kembali fokus menyalin dengan wajah yang dibuat garang.

"Lo cocok banget sih kalo lagi ngambek gitu," Dion mencolek dagu Rigel sambil terkekeh. Menggoda gadis itu juga termasuk hobi barunya setelah ia tidak bisa mengganggu Orion yang masih koma.

"Itu tangan minta dipotong hah!?"

"Santai dong, mbaknya. Galak amat."

"Gue galak kalau lo ngeganggu. Jadi diem dan duduk aja di sana!"

Akhirnya Dion memilih duduk diam di kursinya dan melanjutkan game yang akan dimainkan laki-laki itu. Rigel menghela napas panjang, setidaknya jauh lebih tenang daripada harus diganggu terus menerus oleh Dion yang notabenenya adalah teman sebangkunya—entah sejak kapan.

Baru saja Rigel akan kembali menulis, kegaduhan di depan kelas membuatnya kembali mendengus. Dimana lagi ia harus berpindah untuk menemukan tempat yang tenang menyalin catatannya yang entah kapan selesai itu?

"Gel, lo dicariin kak Arrey!"

Rigel menoleh. Ah, ya, hampir saja gadis itu melupakan Arrey. Padahal selama ini Arrey lah yang selalu ada untuknya di saat gadis itu terpuruk. Rigel buru-buru meletakkan penanya dan beranjak keluar kelas. Sementara Dion mengekori gadis itu dengan tatapan, tidak ingin ikut campur lebih jauh dalam urusan Rigel. Yang terpenting, ia tetap menjaga gadis Orion itu ketika berada dalam jangkauannya.

***

"Kak Arrey!"

Laki-laki kekar yang tengah menatap ke lapangan basket menoleh, tersenyum ketika melihat gadis berjaket krem itu berjalan mendekat. Ia merentangkan tangan, dan disambut pelukan erat oleh gadis kesayangannya.

"Kak Arrey udah beres ujian? Libur kan? Ngapain ke sini."

Arrey melepas topinya dan memasangkan benda itu di kepala Rigel. "Ketemu lo lah. Udah berapa minggu banyak hal yang ngelarang gue buat nemuin lo, dan sekarang, lo ada di depan gue," Arrey kembali mendekap gadis itu sebentar. "Gue kangen banget, manisnya gue."

"Sama...."

"Lo udah bener-bener sehat?"

Rigel mengangguk samar. "Tapi hati gue nggak, masih dibawa Orion yang belum sadar."

Lacuna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang