Rigel yang baru saja keluar dari ruang ganti langsung bergabung dengan timnya. Sudah cukup lama ia tidak latihan, sementara sebentar lagi akan ada pertandingan basket—ia curi dengar dari guru olahraga ketika mengumpulkan tugas kelas di ruang guru.
Rigel melakukan high five dengan seluruh anggota timnya dengan senyum riang, kemudian menyugar poni yang tidak bisa diikatnya. Ia duduk di tribun sementara beberapa anggota sedang melakukan pendinginan ringan setelah bermain basket.
Mata Rigel menelisik satu persatu anggota tim yang terdiri dari kelas X dan XI itu, semuanya lengkap meskipun ia merasa ada yang kurang di sana. Ketika sudah hampir memeriksa seluruhnya, sebuah botol mineral tersodor di depannya.
"Gue tahu lo butuh minum."
Rigel berdecak, meletakkan botol itu di sampingnya dan terus memperhatikan permainan basket di lapangan. Sian mengambil duduk di kursi kosong lain di sampingnya.
"Lo gak ikut latihan?"
"Gue baru aja bebersih, gak lihat lo?"
"Santai, Ri."
"Orang yang gak ada kepentingan di lapangan basket, sebaiknya pulang," Rigel hendak beranjak ketika Sian mencekal tangannya. "Apa lagi?"
Sian tiba-tiba menarik tubuh Rigel hingga perempuan itu hampir limbung menimpanya. Sementara Rigel yang diperlakukan seperti itu membeku sebentar, kemudian reflek meninju wajah Sian karena merasa risih dengan kelakuan laki-laki itu.
"Gue peringatin, lo gak bisa nganggep gue sama kayak cewek lain. Gue gak bisa lo permainkan, Cassian Raeden!"
Sian menatap kepergian Rigel sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah dengan tatapan penuh kemarahan. Sekarang, permainan berubah. Ia tidak bisa lagi memperlakukan gadis seperti Rigel dengan lembut seperti yang lainnya. Gadis itu lebih menantang dari yang dibayangkannya.
***
Rigel melangkah dengan emosi yang tertumpuk di kepalanya. Belum seminggu hubungannya dengan Orion, sudah ada saja yang mengusik emosi gadis itu. Ia berhenti ketika merasakan ponselnya bergetar tanda ada notifikasi masuk ke ponselnya.
085547698xxx:
[send a picture]
Rigel mencengkram benda pipih itu dengan emosi yang sudah meluap-luap di kepalanya. Sungguh, semua baru saja terasa baik-baik saja, tapi kenapa harus muncul masalah baru?
Ia meninggalkan sekolah dengan perasaan dongkol. Butuh penjelasan, tapi ia malas mendengar penjelasan dari siapapun. Ia ingin benar-benar sendiri sekarang.
Baru beberapa langkah keluar dari sekolah, Rigel menemukan Orion tengah tertidur sambil berdiri di body mobilnya. Sungguh, detik ini ia ingin menghampiri laki-laki itu dan memukulnya, tapi demi apapun, rasanya jauh lebih besar dari amarah gadis itu.
"Gel," ia menoleh. Orion sudah berdiri di belakangnya dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan—wajah orang yang baru bangun tidur dan dipaksa langsung berpikir.
"Gue mau pulang."
"Udah gue bilang, kan. Pulang bareng gue."
"Pulang aja sana bareng Anne."
Orion menyerngit. Ia menarik tangan Rigel dengan lembut dan menangkup wajah gadis itu dengan tangan kekarnya, sesekali mengelus pipi mulus itu. Rigel berusaha menghindari tatapan Orion, mencegah laki-laki yang hendak membaca gelagatnya.
"Look at me, my eternal angel."
"Gak."
"Kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/373241943-288-k183972.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [END]
Подростковая литератураBagi Rigel, Orion adalah rival yang paling menyebalkan sejauh ia mengenal laki-laki keturunan Australia itu. Orion selalu berusaha mengganggunya, dan tidak pernah memberikan memori yang indah untuk Rigel. Tapi Orion, dia adalah orang yang paling men...