Hitamnya Rigel

2 0 0
                                    

Sejak kecil, Rigel Althea Morrigan memang sudah merasa terkucil oleh lingkungannya. Bukan keluarga, tapi lingkup pertemanan sesama jenis yang sebaya dengannya. Rigel sudah terbiasa, namun tetap saja luka jika melihat gerombolan gadis tengah bergosip ria dan melempar tawa bersama.

"Eh, eh, itu dia gak sih? Yang lagi dibicarain karena ngelabrak kakak kelas kemarin, gak tahu malu emang!"

"Dih, sok caper sama guru."

"Gue sih ogah main sama jalang kayak dia."

"Cepet mati aja deh hama kayak dia!"

"Sasimo. Bahkan cowok yang gue suka malah nembak dia. Apa sih cantiknya jalang kayak dia!? Dasar cewek murahan, gak tahu malu!"

Rigel berdesis ngilu ketika sekelebat kalimat bully yang didapatkannya di Korea dulu, ini salah satu alasannya kembali ke Indonesia selain kejadian bully fisik yang didapatkannya dulu hingga membuatnya koma selama satu tahun karena jatuh dari kelasnya di lantai tiga. Namun sepertinya di sini sama saja, beruntungnya gadis-gadis itu hanya berani menyindir di belakang sebab Rigel yang memang sudah tidak selemah dulu.

Ya, jika Rigel yang dulu hanya bisa menangis sesengukan di taman belakang ketika dibully, maka sekarang ia akan mendongak dan melawan pembullynya dengan lebih beringas. Ia sudah mendapatkan keberanian itu sejak bangun dari koma, dengan konsekuensi kehilangan sebagian ingatannya.

"Kak Gel!" suara cempreng Demian membuyarkan Rigel yang tengah membongkar memori ingatannya, mencari satu hal penting yang masih buram bagi dirinya. "Gue pulang nih kalo masih ngelamun sendiri."

"Bentar, bentar, tunggu."

"Tinggal bilang sih, kak Gel. Gue udah di telepon papi nih," Demian gusar menatap layar ponselnya yang baru saja mati setelah telepon dari sang papi didiamkannya. "Bisa mampus gue kalau gak pulang."

"Lagian, siapa suruh keluar gak izin?"

"Ih, cepetan, kak Gel!"

"Yaudah, pulang aja sana. Nanti gue cerita lewat chat."

"Kak Rigel anj−"

"Ngomong kotor gue aduin Dion lo, biar dibilangin ke bokap lo."

"Gak asik, ah, mainnya aduan semua! Gue pulang!"

Rigel tersenyum melihat Demian keluar dari café tempat mereka janjian sambil bersungut-sungut. Sebenarnya ia memanggil Demian kesini hanya untuk meredakan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu, sudah mencuil sedikit hati Rigel dan membuatnya terposisikan menjadi adik kesayangan gadis itu, meskipun usia mereka hanya terpaut satu tahun lebih beberapa bulan.

***

"Selamat datang, nyonya Morrigan," seorang pria berpakaian serba hitam menunduk ketika seorang wanita berwajah Korea melewatinya. Wanita itu mengangguk pelan sambil mengedarkan pandang.

"Dimana Rigel?"

"Sedang melihat bintang di ruang perpustakaan, nyonya."

Ia mengangguk, kemudian mengambil alih nampan berisi segelas susu cokelat dari seorang pelayan setelah meletakkan tas jinjingnya di meja ruang tamu. Perlahan ia menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua.

Baru setengah jalan, Rigel keluar dari sebuah ruangan yang tampak penuh dengan buku dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya dan rambut yang dicepol asal. Kaus oblong hitamnya tampak oversize sampai atas lutut, menutupi hot pants yang dipakai Rigel.

Lacuna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang