Connected Dream

2 0 0
                                    

Gelap dan suram. Mungkin itulah yang bisa dideskripsikan oleh seorang Rigel sekarang. Bangunan megah yang dipijakinya tampak tak lagi terawat, seperti menyatakan duka yang mendalam. Ia berjalan perlahan, sesekali menunduk untuk memastikan ubin yang dipijaknya tidak retak.

"Hello!?" teriak gadis itu, namun hanya gema yang menjawabnya.

Rigel berhenti di depan anak tangga yang mengarah ke lantai dua bangunan itu. Tampak lebih menyeramkan jika dilihat lebih dekat. Dari sudut matanya, gadis itu menangkap sesosok laki-laki yang berdiri di sudut ruangan.

"Hei!?"

Ketika menoleh, tak ada siapapun di sana. Rigel menyerngit, kemudian berdigik sendiri. Setelah menghela napas panjang, gadis itu memutuskan untuk menaiki satu persatu anak tangga di sana.

"Hei, ada orang!?" sekali lagi ia berteriak. Tapi sama saja, hanya gema yang menjadi jawaban. Bangunan itu terlalu besar dan suram untuk dirinya yang sendirian saat ini.

Lagi, ia melihat sosok laki-laki berpakaian serba putih berdiri di depan sebuah grand piano tua yang tampak usang di lantai dua. Ia bergegas naik, berusaha mengejar laki-laki itu.

"Siapa lo!?" tak ada jawaban apapun. Laki-laki misterius itu menghilang begitu Rigel sudah menapakkan kaki di ubin lantai dua.

Rigel melihat ke bawah. Ada banyak sosok bersayap hitam di sana, yang sepertinya tidak menyadari kehadiran Rigel. Tunggu, bukannya tadi sepi? Lantas bagaimana bisa ada banyak orang secara tiba-tiba di sana?

Rigel memilih menghiraukannya, berjalan pelan mendekati grand piano dengan denting piano itu sendiri terdengar ke segala penjuru bagian bangunan itu. Perasaannya makin kacau, ia ingin segera keluar dari tempat ini.

"Hei, ada orang!? Bantu gue keluar dari sini!" ia sekali lagi berteriak. Tetap saja, tak ada jawaban apapun dari seorang pun di sana, meski denting piano semakin terdengar nyaring di telinga.

Semakin dekat, Rigel bisa melihat sosok laki-laki dengan pakaian serba putih itu lagi duduk di kursi kecil piano, memainkan alat itu dengan penuh penghayatan.

"Rion?" kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Sosok yang tengah memainkan piano itu berhenti, menoleh dengan tatapan penuh arti pada Rigel. "Akhirnya lo dateng, Ri...."

"Ayo pulang...," lagi-lagi ucapan itu tak bisa dikontrolnya. Melihat Orion menggeleng, Rigel berubah menjadi sendu. "Kenapa?"

"Belum waktunya."

Rigel terdiam. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari laki-laki yang sudah beranjak berdiri dan berada di hadapannya ini. Sontak, semua menjadi kembali sepi.

"Gel?"

Rigel mengangkat kepalanya, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh begitu saja tanpa bisa dicegahnya. Orion menangkup wajah mulus itu dan mengusap pipinya pelan.

"Love you...," begitulah yang bisa ditangkap pendengarannya. Rigel lebih fokus pada sepasang sayap putih yang berada di punggung Orion.

"Ayo pulang, Rion...."

Orion tak menjawab, memilih untuk membawa gadisnya ke dalam pelukan laki-laki itu dan membiarkan Rigel kembali mendengar detak jantungnya.

"Kita belum selesai, Rion...."

"Gue masih mau di sini, sebentar aja. Boleh ya?"

Rigel menggeleng. Bagaimana bisa laki-laki itu mengajukan sebuah hal yang sangat menyesakkan? Ia baru saja ingin selalu bersama dengan Orion, tapi ia seakan menolak takdirnya secara halus.

Lacuna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang