"Udah mau pulang?"
Rigel mengangguk dengan punggung bersandar di kursi mobil. Matanya terpejam dengan tangan yang disilangkan di depan dada. Orion melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah agar Rigel bisa tidur dengan tenang. Ia juga memilih mendengarkan lagu lewat wireless headset agar tidak mengganggu lelap gadisnya.
Suasana menjadi lengang kemudian, Orion fokus mengemudi di jalanan yang cukup sepi malam itu. Ia memelankan laju mobil sebelum menoleh pada gadisnya.
"Rigel?"
"Hm," Rigel berdeham sekenanya, gadis itu memang masih setengah terbangun meski matanya tetap terpejam.
"Love you."
"Hm."
"Maaf, kalau nanti waktu gak lagi sama...."
Rigel membuka mata, berusaha mencerna ucapan laki-laki itu. Tangan Orion terangkat menuntun wajah rupawan itu menatapnya, kemudian ia sendiri maju untuk mengecup kening Rigel lamat. Terasa amat lama, sampai Rigel melirik ke depan dan ekspresinya berubah panik.
"Orion, awas, depan!"
Laki-laki itu menoleh ke depan. Sebuah motor melaju sangat kencang ke arah mobilnya, seakan hendak menabrakkan diri ke mobil Orion. Sontak laki-laki itu banting stir ke kanan, menerobos pembatas jalan dan berhenti ketika body depannya menabrak pohon.
Semua terjadi begitu saja, terlalu cepat untuk ditangkap emerald Rigel. Di ambang batas kesadarannya, Orion masih sempat menarik tubuh Rigel dan melindungi kepala gadisnya dari pecahan kaca mobil, membiarkan tubuhnya lebih banyak terkena pecahan kaca.
"Orion...."
Rigel mendongak. Hal terakhir yang dilihatnya adalah darah Orion yang mengucur mengenai wajahnya sebelum gelap menguasai pandangan gadis itu.
***
Retina emerald itu berusaha menetralkan cahaya yang masuk begitu kedua kelopaknya terbuka. Bau obat-obatan kimia dan bunyi patient monitor adalah dua hal yang menyambut kesadarannya. Ruangan putih itu tampak lengang, hanya ada dirinya yang terbaring dan, Demian? Bagaimana bisa laki-laki itu di sini?
"D-dem—" suaranya tercekat karena tenggorokannya terasa kering. Beruntungnya, Demian lekas bangun dari tidur dan menatapnya penuh perhatian.
"Kak Gel? Lo udah sadar? Ada yang bisa gue bantu?"
"Air...."
Demian langsung bangkit dan mengambil gelas air putih di nakas. Dengan telaten, ia membantu Rigel minum dan menyangga punggung gadis itu, kemudian membantunya kembali berbaring dan menyelimuti tubuh Rigel.
"Apa lagi?"
"Butuh Orion...."
Wajah Demian berubah sendu. "Minta yang lain aja, ya? Apel, mau?"
"Mana Orion?"
"Belum," Demian menggeleng. "kak Orion dinyatakan koma...."
"Udah berapa hari?" Rigel mencekal tangan Demian lemah, sesak menjalari tubuhnya.
"Seminggu."
"Jadi?"
"Belum pasti kapan dia bangun."
"Gue pengen ketemu dia."
Demian menahan Rigel yang hendak beranjak dari brankar, kemudian menggeleng yang menyebabkan Rigel menatapnya kecewa.
"Boleh, tapi gak sekarang."
"Gue mau dia, sekarang."
"Gak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna [END]
Teen FictionBagi Rigel, Orion adalah rival yang paling menyebalkan sejauh ia mengenal laki-laki keturunan Australia itu. Orion selalu berusaha mengganggunya, dan tidak pernah memberikan memori yang indah untuk Rigel. Tapi Orion, dia adalah orang yang paling men...