Part 2 - Menyingkap Tabir Luka

46 1 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kala mematut dirinya di depan cermin. Kemeja lengan panjang sudah membalut tubuhnya dengan rapi. Hari ini kliniknya akan melaksanakan acara penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan persiapan kehamilan bagi warga di lingkungan sekitar klinik, khususnya bagi kaum perempuan. Acara yang sudah berbulan-bulan diupayakan Kala agar terealisasi demi bentuk pengabdiannya kepada masyarakat di sini.

Kala melirik jam dindingnya. Sudah jam 6 pagi. "Telepon Sea, ah."

"Assalamu'alaikum, Se," sahut Kala begitu sambungan teleponnya diangkat Sea.

"Wa'alaikumussalam, Mas Kal."

Aih! Kala memegangi dadanya kuat-kuat saat Sea kembali memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Meleleh.

"Hari ini kamu ngajar?"

"Nggak, Mas Kal. Hari ini saya izin nggak masuk."

Kening Kala mengerut. Rasa cemasnya mulai menggelayut. "Lho, kamu sakit?"

"Nggak. Saya kan pagi ini mau antar keluarga saya ke bandara. Mereka mau balik ke Jogja. Mas Kala lupa, ya?"

"Astagfirullah!" Kala menepuk keningnya. "Maaf, saya lupa. Maaf juga, ya... Saya nggak bisa antar keluargamu karena pagi ini ada di klinik. Salam saja nanti untuk semuanya."

"Iya, nggak apa-apa. Oh iya, Mas Kala ada apa tadi tanya saya ngajar atau nggak?"

"Oh, itu... saya mau ajak kamu makan siang bareng."

"Kalau cuma berdua aja saya nggak mau, ya, Mas Kal." Terdengar suara Sea di seberang sana berubah agak sedikit kurang berkenan.

Kala hanya terkekeh mendengar respon calon istrinya itu, "Hahaha... cepat banget bilang nggak maunya. Tenang aja, Se. Kita nanti makan siangnya nggak cuma berdua. Insya Allah, berlima. Rencananya setelah acara penyuluhannya selesai. Sekitar jam setengah satu, ya."

"Berlima? Siapa aja?" Sea terdengar penasaran.

"Saya, kamu, Roy, Mona dan Dokter Hadi. Kita makan siangnya nanti di luar."

"Sama Dokter Hadi? Mona beneran nggak apa-apa kalau dipertemukan sama beliau?" tanya Sea yang sedikit banyak tahu tentang masalah Sea yang berkaitan dengan Dokter itu.

Kala tersenyum penuh syukur. Inilah salah satu alasan kenapa Kala terus-menerus memanjatkan doa agar Sea-lah yang menjadi istrinya kelak. Karena Sea selalu memikirkan kenyamanan orang-orang terdekatnya. Terutama selalu peduli dengan Mona, sang adik sepupu.

"Nggak apa-apa, Sayang." Tercetuslah kembali kalimat mesra itu pagi ini dari bibir Kala. Kala hanya berupaya jujur betapa perempuan ini begitu disayanginya.

Tidak tahu saja Kala, efek panggilannya tersebut membuat Sea di seberang sana langsung menempelkan telapak tangan kirinya di pipi sembari menahan laju napasnya yang kian menderu. Kalau Kala mungkin meleleh berkat sapaan 'Mas Kal' dari Sea. Sea justru kini membeku bak patung dengan pipi merona.

Frasa RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang