Prolog - Kerajaan Sihir (season 1)

757 28 0
                                    

Di bawah langit sore yang dihiasi dengan warna oranye kemerahan, medan pelatihan kerajaan terasa hidup dan penuh semangat. Matahari yang semakin menurun menciptakan sinar keemasan yang menerangi arena latihan. Suara langkah kaki yang teratur dan derak pedang kayu yang bersentuhan bergema di seluruh arena, mengiringi alunan burung-burung yang berkicau menjelang senja. Aroma keringat dan tanah lembap menyatu dalam udara, menciptakan campuran khas dari latihan sore hari.

Para calon kesatria kerajaan, tampak serius dan fokus dengan latihan mereka. Keringat mengalir di dahi mereka, membasahi kulit yang tampak merah karena usaha yang telah mereka lakukan. Beberapa di antara mereka mengerutkan dahi, menahan rasa lelah sambil berusaha mempertahankan kuda-kuda mereka.

Andaress Yogita, pangeran bungsu dari keluarga utama Kerajaan Valerian, berdiri di tengah-tengah arena latihan dengan pedang kayu di tangannya. Langit sore memancarkan cahaya keemasan, kilauan sinar matahari menyentuh ujung pedangnya, menciptakan efek dramatis. Ia sedang fokus pada setiap gerakan dan instruksi yang diberikan.

Di hadapannya, Helisma Putri, sahabatnya sejak kecil, bergerak dengan lincah. Rambut lurusnya yang tergerai ke bawah tampak berkilau dalam cahaya matahari sore. Gerakan Helisma sangat terampil, setiap ayunan pedangnya terkoordinasi dengan sempurna, seolah ia sedang menari.

"PERBAIKI KUDA-KUDA MU!" teriak seorang pria berbadan besar sambil memukul kaki salah satu anak didiknya, suaranya menggema seperti guntur di langit sore yang cerah. Ia berjalan mengelilingi puluhan calon kesatria yang sedang berlatih.

Suara benturan pedang kayu terasa lebih nyata saat matahari sore memantulkan kilau di atasnya. Serpihan-serpihan kayu terlepas ke udara, menciptakan aroma hangus yang mirip dengan bau api unggun yang hampir padam. Cahaya matahari sore menyinari arena dengan warna keemasan, membuat seluruh pemandangan tampak penuh warna dan dinamis.

Tiba-tiba Andaress tersentak, pedang Helisma menghantam pinggang kanannya.

"Heii, Andaress, kamu melihat ke mana? Ayo fokuslah!" suara Helisma memotong rasa sakit yang ia berikan, nada marahnya melunak dengan kekhawatiran.

"Maaf," jawab Andaress sambil mengatur posisinya kembali, napasnya tersengal-sengal. Ia mencoba untuk memusatkan fokusnya kembali pada pertarungan.

Andaress melayangkan pedangnya ke arah bahu kiri Helisma. Namun, Helisma dengan cekatan menangkis serangan tersebut, membuat bilah pedang kayu mereka beradu dengan suara yang keras dan tajam. Tubuh Andaress terasa terguncang, tangannya mulai lelah, dan kekuatannya mulai terkuras oleh perlawanan Helisma yang tak kenal ampun.

Tak memberi jeda sedetik pun, Andaress segera mengangkat pedangnya lagi, kali ini menghujamkannya ke bawah dengan gerakan cepat dan bertenaga, seolah pedang itu adalah air terjun yang mengalir deras dari atas bukit. Andaress berpikir gerakannya yang cepat itu akan membuat bilah pedangnya mengenai kepala Helisma, namun Helisma bukanlah orang sembarangan.

Dengan kecepatan yang luar biasa, Helisma segera memukulkan pedangnya ke atas, menghalau tebasan Andaress yang hampir menghantam dirinya. Dentingan pedang mereka bergema di arena, menciptakan suara nyaring yang terdengar hingga sudut-sudut medan latihan. Tubuh Andaress terasa terguncang, napasnya terengah-engah, dan adrenalin mengalir deras dalam darahnya.

Pedang Andaress pun terhempas ke samping, terlepas dari genggamannya. Sebelum Andaress sempat merespons, Helisma sudah menghunuskan pedangnya ke wajah Andaress, memberhentikannya tepat di depan matanya. Mata Andaress terbuka lebar, terkejut oleh kecepatan dan ketepatan Helisma. Jantungnya berdetak kencang, adrenalin mengalir deras dalam darahnya.

Andaress terhuyung jatuh ke belakang, terduduk di tanah berdebu, napasnya tersengal-sengal. Dia menatap pedang kayu Helisma yang terarah langsung ke wajahnya, hanya beberapa inci dari hidungnya. Dalam sekejap, dia merasa sangat kecil dan rentan di hadapan sahabatnya yang begitu terampil.

"BAIKLAH, KITA CUKUPKAN LATIHAN HARI INI!" teriakan pria berbadan besar, Komandan Raziel, menggelegar menandai akhir dari sesi latihan kali ini, memotong ketegangan yang terjadi antara Andaress dan Helisma.

Komandan Raziel Habin, pensiunan panglima perang kerajaan kami, dengan perawakannya yang kekar dan kulit sawo matang, adalah seorang legenda. Dia dulu selalu bersama ayah Andaress dalam berbagai kampanye militer, menaklukkan banyak wilayah. Namun, lima tahun lalu, ia memilih pensiun karena cedera yang tak bisa disembuhkan pada kaki kirinya. Kini, dia menjadi pelatih bagi calon kesatria kerajaan.

"Heii, aku tahu kemampuan sihirmu di atas orang-orang pada umumnya, tapi kemampuan berpedang itu juga penting," kata Helisma lembut namun tegas.

Helisma Putri, sahabat Andaress sedari kecil. Meski ada kata "Putri" dalam namanya, ia bukan putri kerajaan. Helisma adalah anak angkat dari keluarga kerajaan cabang bawah. Dengan tubuh tinggi, wajah bulat, kulit putih bersih, dan rambut lurus yang selalu dibiarkan tergerai, ia selalu menjadi incaran banyak lelaki. Namun entah mengapa, hingga hari ini, ia belum pernah memiliki pasangan.

"Ahhh, aku tahu. Aku sudah mencoba sebaik mungkin, tapi tanganku seakan menolak kehadiran pedang-pedang itu," jawab Andaress dengan nada kesal dan lelah.

"Kau tak pernah mengecewakan seperti biasanya, Helisma," kata Raziel sambil mengamatinya dengan bangga.

Mereka berdua menengok ke arah suara berat yang baru saja terdengar. Komandan Raziel sedang berjalan menuju mereka.

"Terima kasih, Komandan. Suatu kehormatan mendapatkan pujian dari Komandan langsung," ucap Helisma sambil sedikit membungkukkan badan dan tersenyum.

"Dan kau, Andaress..."

"Eh, iya?" jawab Andaress dengan kaget, merasa cemas mendengar nada serius dalam suara Raziel.

"Kau harus lebih banyak berlatih mengayunkan bilah-bilah itu," ucap Komandan Raziel dengan nada tegas.

"Baik, Paman," ucap Andaress sambil menundukkan kepala dengan rasa hormat. Sedari kecil, Andaress memang selalu memanggilnya dengan panggilan "Paman."

Komandan Raziel mengusap lembut rambut Andaress sebelum beranjak pergi. Andaress mengangkat kepalanya dan menengok ke arah Helisma yang sudah menyiapkan senyum jahilnya.

"Dasar orang jago," ucap Andaress cemberut, merasa sedikit iri.

Helisma tertawa terbahak-bahak sambil mencolek pinggang Andaress. "Heii! Jangan terlalu serius."

"Ada Kathrina?" tanya Andaress penuh harap.

"Iyaa, ada," jawab Helisma dengan anggukan lagi.

"Okee, let's gooo," seru Andaress dengan semangat yang tiba-tiba bangkit.

"Mandi dulu sana, baumu udah 11-12 sama kuda."

"Kudamu doang kali, nggak terawat. Kudaku mah wangi, tampan, rupawan kaya yang punya."

"Najis kepedean, susah bener disuruh mandi doang," cibir Helisma sambil menahan tawa.

"Mandiin," ucap Andaress singkat.

"Alay cabul," cibir Helisma sambil mendorong Andaress menjauh.

Andaress tertawa mendengar cibirannya. Helisma pun ikut tertawa, menunjukkan bahwa dia benar-benar menikmati percakapan ini. Mereka berdua berjalan perlahan meninggalkan medan latihan, diiringi oleh gemericik langkah kaki di atas tanah yang mulai lembap oleh embun senja. Di atas kepala mereka, langit mulai ditaburi bintang-bintang pertama malam itu, seakan memberi restu pada perjuangan dan semangat yang mereka lalui. Hari ini mungkin berakhir, tetapi besok mereka akan kembali lagi, lebih kuat dan lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang.

Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang