Suasana sekitar dipenuhi dengan suara riuh rendah, sesekali terdengar tawa dan obrolan hangat. Aroma kapur tulis dan kertas yang baru saja dirobek tercium samar-samar, bercampur dengan bau hangat dari sinar matahari yang menembus jendela besar di sudut ruangan. Sinar itu menari-nari di atas meja-meja kayu yang penuh coretan dan ukiran kecil hasil karya siswa-siswa sebelumnya.
Di tengah keramaian ini, terdapat seorang anak laki-laki yang tertidur lelap di mejanya, wajahnya tertelungkup di atas buku catatan yang terbuka. Rambutnya yang berantakan tersebar di atas kertas, dan sesekali terlihat bergerak seiring dengan nafasnya yang dalam dan teratur. Suara gaduh dari teman-teman sekelasnya tidak mampu membangunkannya. Dering panjang bel sekolah menandai akhir jam istirahat, namun dia masih tenggelam dalam mimpinya.
Seorang gadis yang duduk di sebelahnya, mengenakan seragam putih abu-abu yang rapi, melihat guru mereka mendekat dari balik jendela kelas. Dengan cepat, ia mengguncang bahu anak laki-laki itu. "Gita, bangun! Guru datang!" bisiknya cemas. Mata Gita yang berat perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk. Pandangannya masih sedikit kabur, namun ia bisa merasakan kehangatan sinar matahari di wajahnya.
Ia mengangkat kepalanya dan melihat gadis itu yang tampak khawatir. "Apa yang terjadi?" gumam Gita setengah sadar. Dengan kondisi setengah mengantuk, Gita melihat pada dirinya yang telah menggunakan kemeja berwarna putih dan celana berwarna abu-abu. Mata yang sebelumnya terpejam mulai terbuka lebih lebar saat ia menyadari situasi di sekitarnya.
"Guru sudah datang," bisik gadis itu.
Gita menengok kepadanya, "Helisma?"
"Helisma? Kenapa kau tiba-tiba memanggilku dengan nama itu?" tanyanya keheranan, alisnya berkerut dengan kebingungan.
Secara tiba-tiba, Gita merasakan kepalanya menjadi berat seketika, rasa sakit menjalar di seluruh bagian kepalanya. Dari kondisi duduk, Gita langsung tersungkur ke lantai kelas sambil memegang kepalanya. Kulit putihnya itu memerah dan mengeluarkan keringat, suaranya mengerang seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Kejadian itu menarik perhatian seluruh orang di kelas, tak terkecuali sang guru yang baru saja datang. "Astaga, Gita! Kau tidak apa-apa?" tanyanya panik, mengkhawatirkan kondisi anak didiknya itu. "Eli, tolong bawa Gita ke UKS," sambungnya dengan nada tegas namun penuh kekhawatiran.
"Baik, Bu," ucap Eli patuh, kemudian ia merangkulkan tangan Gita di pundaknya. Dengan kuat, ia memapah Gita keluar dari kelas tersebut menuju UKS. Gita berjalan tertatih-tatih, merasa berat beban di pundaknya seakan menekan lebih dalam rasa sakit di kepalanya.
.
.
Lorong yang panjang itu begitu kosong, namun tidak sepi, karena suara ricuh murid-murid dari dalam kelas masih terdengar. Di lorong itu, Eli dan Gita berjalan menuju UKS. Gita berjalan sendiri karena rasa sakit di kepalanya sudah sedikit berkurang, meskipun dia masih merasakan denyutan di sana. Langkahnya goyah, namun ia tetap berusaha untuk berjalan tegak, meskipun sesekali harus memegang dinding untuk menjaga keseimbangan.
"Sudah kubilang jangan begadang jika besoknya masuk sekolah. Sepertinya kau perlu direhabilitasi dari game-game itu," ucap Eli menasihati, suaranya terdengar tegas namun penuh perhatian.
"Apa maksudmu, Helis... Eli?" ucap Gita, sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut.
"Ingatan pemilik tubuh ini, seperti masuk melalui rasa sakit itu," gumam Gita.
"Hah, apa maksudmu?" tanya Eli, alisnya berkerut karena kebingungan.
"Tidak ada, sepertinya aku sedikit masih terbawa mimpi," elak Gita, mencoba menenangkan diri dan teman sebelahnya. Wajahnya yang pucat berusaha menampilkan senyuman tipis, meskipun rasa sakit masih jelas terlihat di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfic(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."