Pagi itu, sinar matahari menembus langit yang cerah, menyinari lapangan latihan di jantung Kerajaan Valerian. Aroma tanah yang lembap bercampur dengan bau besi dan keringat memenuhi udara.
Di tengah arena, Ariel, bertelanjang dada, berdiri tegap seperti singa liar yang siap menerkam mangsanya. Otot-otot tubuhnya menggurat tajam, kulitnya berkilat terkena keringat pagi. Sebuah pedang kayu tergenggam erat di tangannya.
Belasan prajurit melingkar rapat mengelilingi Ariel, masing-masing mengenakan zirah baja tebal. Di bawah sinar matahari, armor mereka memantulkan kilau perak yang kontras dengan tubuh Ariel yang bebas dari perlindungan apa pun. Mereka tampak seperti benteng bergerak, dengan helai kain biru kerajaan menjuntai dari bahu mereka. Namun, di hadapan Ariel, kehadiran mereka hanya seperti kawanan domba di hadapan seekor serigala.
"Mulai!!" Seru Ariel.
Tanpa ragu, mereka menyerbu serentak, langkah-langkah berat mereka menggema keras. Deru napas mereka bergabung dengan dentingan armor, menandakan persiapan penuh untuk menguji sang pangeran. Pedang kayu di tangan mereka melayang menuju Ariel dari berbagai arah, bagaikan badai yang tidak memberikan celah untuk bernapas.
Ariel bergerak dengan gesit. Dia meluncur di antara serangan-serangan itu dengan kecepatan dan ketepatan yang membuat mata prajurit bahkan tidak mampu mengejar pergerakannya. Pedang kayu pertama meluncur ke arah kepalanya—Ariel menunduk secepat kilat. Pedang kedua datang dari samping, namun dia memutar tubuhnya seperti angin yang menghindari halangan.
Dengan satu ayunan cepat, pedang kayu Ariel menghantam tepat di helm salah satu prajurit.
Suara keras bergema ketika helm baja tebal itu penyok seketika, seolah-olah dipukul oleh palu besi, bukan pedang kayu. Si prajurit terhuyung mundur, terkejut oleh kekuatan sang pangeran. Sebelum yang lain bisa bereaksi, Ariel sudah meluncur ke arah prajurit di sebelahnya dan menghantam perutnya dengan pukulan keras—zirah baja si prajurit melengkung ke dalam, membuatnya terjengkang dengan desahan kesakitan.
Semakin lama gerakannya penuh amarah yang dalam. Dalam benaknya, bayangan kekasihnya, Helisma, muncul dengan jelas—diculik oleh para iblis, tak berdaya dalam genggaman mereka. Setiap kali dia mengayunkan pedangnya, kemarahan itu beresonansi dalam setiap pukulannya, seakan-akan setiap prajurit yang dihadapinya adalah perwujudan dari musuh-musuh yang telah merebut Helisma darinya.
"Aaaaarghh!" teriak Ariel, melampiaskan frustrasi dan rasa sakit yang tertahan di hatinya.
Dengan gerakan cepat, dia melompat tinggi dan memutar tubuh di udara. Pedang kayunya berputar seperti baling-baling, mengayun ke arah dua prajurit sekaligus. Mereka mencoba menangkis, namun sia-sia. Pedang Ariel menghantam mereka dengan keras—"Brakkk!" Suara dentuman keras terdengar ketika zirah mereka penyok, membuat tubuh mereka terlempar beberapa meter ke belakang dan jatuh menghantam tanah berdebu.
Para prajurit mulai panik. Meski mereka terlatih dan mengenakan zirah penuh, perbedaan kemampuan begitu terasa. Ariel adalah badai dalam wujud manusia—kecepatan dan kekuatannya tidak bisa dibandingkan. Setiap serangan balasannya terasa seperti hantaman palu, meski ia hanya menggunakan pedang kayu.
Salah satu prajurit mencoba menyelinap dari belakang, mengira dia bisa memanfaatkan kelengahan Ariel. Namun, tanpa melihat, Ariel menyepak tanah, dan debu berhamburan ke udara, membutakan mata prajurit itu seketika. Dalam satu gerakan cepat, Ariel berbalik dan menghantam bahu prajurit itu dengan keras. Tulang bahu di balik zirahnya bergemeretak—dia jatuh ke tanah dengan erangan menyakitkan.
"Lemah!" teriak Ariel, amarahnya makin berkobar. Ia menggertakkan gigi, merasakan rasa sakit dan ketidakberdayaan yang masih menghantuinya karena kehilangan Helisma. Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika tidak mampu menyelamatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfic(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."