Helisma duduk sendirian di meja makan besar yang tampak terlalu luas untuk hanya satu orang. Di depannya terhidang berbagai makanan lezat yang biasanya dinikmati bersama Andaress dan Kathrina. Namun, malam itu, suasana terasa hampa dan sepi. Piring-piring yang tertata rapi dan lilin yang menyala dengan lembut di tengah meja tidak mampu mengusir rasa kesendirian yang menyelimutinya.
Helisma mengambil sepotong roti dan memakannya perlahan, rasa makanan yang biasanya lezat kini terasa hambar di lidahnya. Pikirannya melayang pada saat-saat bahagia ketika mereka bertiga tertawa dan bercanda di meja yang sama ini. Ia merindukan suara tawa Andaress yang riang dan senyuman Kathrina yang selalu mampu mencerahkan suasana. Tanpa sadar, matanya berkaca-kaca saat kenangan itu terputar di benaknya.
Setiap sudut ruangan ini mengingatkannya pada kebersamaan mereka yang kini terasa begitu jauh. Helisma menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Ia tahu bahwa mereka sedang berjuang untuk kembali, dan ia harus tetap kuat. Namun, malam-malam seperti ini, ketika ia duduk sendirian dengan hanya bayangan kenangan yang menemani, terasa begitu berat untuk dilalui.
Tubuh Andaress dan Kathrina sekarang sudah berada di istana, ditempatkan dengan hati-hati untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Helisma merasa lega karena mereka berada di tempat yang relatif aman, namun rasa rindu tetap menghantui hatinya. Ia duduk di meja makan besar, menikmati makan malam sendirian ketika tiba-tiba mendengar suara yang tak asing baginya dari luar.
Dengan penasaran, Helisma berjalan menuju jendela dan memeriksa apa yang terjadi. Di kejauhan, ia melihat Pangeran Ariel, Freyana, dan Fiony sedang berjalan menuju gerbang kota. Sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya, Pangeran Ariel mengenakan zirah perangnya, dan Freyana membawa pedang, suatu hal yang amat jarang ia lihat. Rasa penasaran menyelimuti dirinya, membuat Helisma tidak bisa tinggal diam.
Dengan cepat, Helisma mengambil pedangnya dan memutuskan untuk mengikuti mereka bertiga. Dengan menggunakan sihir menghilang, ia bersembunyi dalam kegelapan malam, memastikan dirinya tidak terlihat. Mereka berjalan keluar kota cukup jauh, hingga nyala obor kota tidak terlihat lagi. Helisma berusaha tetap tenang meskipun jarak yang mereka tempuh semakin jauh, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba, mereka bertiga berhenti. Fiony, dengan suara tenang namun tajam, berbicara ke belakang, "Bukankah kurang sopan membuntuti seseorang seperti itu?" Helisma, yang merasa sudah ketahuan, menunjukkan dirinya dari balik bayangan. "Helisma? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Pangeran Ariel dengan sedikit terkejut. Helisma berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu, sambil menatap wajah-wajah di depannya yang penuh dengan kewaspadaan.
Helisma menenangkan dirinya sejenak sebelum menjawab, "Maafkan aku, Pangeran Ariel, Freyana, Fiony. Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi aku melihat kalian bersiap seperti ini dan merasa ada sesuatu yang penting. Terlebih lagi, saat ini situasi cukup genting dengan Andaress dan Kathrina di istana. Aku hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja dan jika ada yang bisa kubantu, aku siap."
Ia menatap mereka satu per satu, mencoba membaca ekspresi di wajah mereka. "Kenapa kalian keluar kota dengan persenjataan lengkap? Ada bahaya yang perlu kita waspadai?" tanyanya dengan nada serius.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Freyana mengeluarkan pedangnya dan menebaskannya dari atas ke bawah dengan cepat ke kekosongan malam. Pedang itu diselimuti aura berwarna ungu, gerakan sederhana itu terlihat sangat cepat. Helisma kebingungan atas apa yang terjadi. Tiba-tiba, ada iblis yang jatuh terbaring di depan matanya, dengan kondisi tubuh yang sudah terbelah. Darah hitam iblis itu memuncrat, mengotori tanah yang sudah tandus.
"Wow, Freyana, posisimu sebagai Penyihir Agung Kerajaan bukanlah isapan jempol belaka," ucap Pangeran Ariel dengan nada kagum. Helisma terkejut dan semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfic(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."