Setelah mengenakan bajunya, Muthe bergegas turun ke lantai bawah, terdorong oleh suara gaduh yang mendadak muncul dari arah dapur. Langkahnya ringan namun penuh rasa khawatir. Setibanya di dapur, ia langsung disambut pemandangan yang tidak biasa—Eli duduk bersandar di lantai, wajahnya pucat dan napasnya terengah. Di depannya, Gita membungkuk, dengan tangan mengusap pelan bahu Eli, mencoba menenangkannya. Barang-barang dapur berantakan—rak bumbu terbalik, gelas jatuh hingga pecah berkeping-keping, dan beberapa sendok berguling di lantai.
Muthe segera mendekat, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Eh, ada apa ini?"
Eli berdiri perlahan, jelas masih terguncang. "Aku... mau sendiri dulu." Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan meninggalkan dapur menuju kamarnya.
Muthe mengawasi kepergian Eli dalam diam, rasa khawatir terus menggelayut di dadanya. Begitu Eli menghilang, ia menoleh ke arah Gita. Tatapan matanya berbicara banyak—meminta penjelasan tanpa perlu kata-kata.
Gita menyadari tuntutan itu dan berusaha memberikan senyum cerah, walau sedikit gugup. "Tadi ada tikus, jadi ya... sempat ricuh dikit. Hehe." Ia berusaha membuat suasana lebih tenang, mengangkat bahu seolah kejadian barusan bukan masalah besar.
Muthe mengangguk, meski masih menyimpan sedikit keraguan. "Oh... yaudah, kirain ada apa." Nada suaranya sedikit mereda, tapi matanya masih menelisik setiap ekspresi Gita, mencari tanda-tanda ada sesuatu yang disembunyikan.
Namun, sebelum suasana menjadi lebih berat, Gita cepat mengalihkan perhatian. "Keluar yuk. Cari sarapan bareng?" ajaknya ringan, mencoba mengubah topik.
Senyum licik melintas di wajah Muthe. "Makan aku aja, Kak Gita," jawabnya dengan nada menggoda, sudut bibirnya terangkat nakal.
Gita memutar bola mata dan mendesah panjang, seolah sudah kehabisan kesabaran menghadapi tingkah Muthe yang semakin aneh belakangan ini. "Ada apa sih, Muthe? Sejak di rumah sakit kamu jadi kayak gini."
"Hehe, bercanda, Kak Gita..." Muthe berusaha mencairkan suasana dengan tawa kecil, meski terasa sedikit dipaksakan.
"Muthe..." Gita menggeleng kecil, menatap langsung ke mata Muthe. "Kelakuanmu, apalagi tadi pagi, nggak keliatan kayak becanda."
Perkataan itu menghantam Muthe tepat di hati. Tawa kecil di bibirnya menghilang. Raut wajahnya berubah, dan sejenak ia terdiam. Namun, akhirnya ia menghela napas berat dan menunduk sedikit, seolah mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Sebenernya aku cuma..." Muthe mulai, suaranya pelan namun jujur. "Aku cuma pengen bikin kamu bener-bener jadi punyaku, Kak Gita. Meskipun kita udah ngelakuin banyak hal bareng, nggak bisa dipungkiri kalau hubungan kita itu nggak jelas." Ia berhenti sejenak, menggigit bibirnya. "Sejak kamu koma, aku jadi takut. Takut kalau kita bakal saling kehilangan tanpa pernah benar-benar saling memiliki. Jadi... kupikir, kalau kita udah lakuin hal itu, semuanya bakal jadi jelas."
Kata-kata itu meluncur begitu saja. Mata Muthe berkilat, ada rasa takut, ragu, dan harapan bercampur jadi satu.
Gita menatap Muthe dengan penuh perasaan. Kata-kata Muthe terasa seperti tamparan lembut di hatinya. Ia kini benar-benar paham betapa tulusnya semua tindakan Muthe, semua tingkahnya, dan semua kekhawatirannya.
Tanpa berkata apa-apa, Gita melangkah mendekat. Perlahan, ia merentangkan tangan dan memeluk Muthe erat-erat, seolah ingin menenangkan segala keraguan yang ada.
Muthe terkejut sejenak, tidak menyangka Gita akan merespon seperti itu. Namun, begitu kehangatan pelukan itu menyusup ke dalam hatinya, ia akhirnya membalas pelukan itu.
Gita menyandarkan dagunya di atas kepala Muthe, mengusap lembut rambutnya. "Tenang aja sayang..." bisiknya pelan, seolah mengunci janji dalam kata-kata itu. "Akan kupastikan kita tetap bersama sampai kisah ini selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfiction(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."