Kamar Kathrina adalah gambaran dari ketekunan dan keteraturan. Dindingnya dihiasi dengan rak buku penuh trofi dan piagam dari berbagai olimpiade yang pernah dimenangkannya. Di meja belajarnya yang terletak di dekat jendela, sebuah lampu belajar bercahaya hangat menerangi sekumpulan buku sains, bahasa, geografi, dan ekonomi yang terbuka di berbagai halaman. Tablet di tangan kanannya, penuh dengan catatan digital, sesekali berpindah antara berbagai aplikasi dan dokumen. Di sebelahnya, laptop menyala dengan layar penuh rumus-rumus dan grafik, bukti keseriusannya dalam mengejar kesempurnaan.
Di sudut ruangan, lemari kayu tinggi terlihat rapi dengan pakaian yang disusun berdasarkan warna dan kategori, mencerminkan sifat perfeksionis Kathrina. Jendela besar di belakang meja terbuka sedikit, membiarkan angin malam masuk, dan tirai putih yang menggantung di sisi jendela bergerak pelan seiring dengan hembusan angin.
Suasana malam itu tenang, hanya suara ketukan keyboard laptop dan gesekan pena di atas kertas yang terdengar. Kathrina duduk tegak, rambutnya yang panjang tersisir rapi ke belakang, sebagian diikat. Ia tampak serius, fokus sepenuhnya pada materi yang sedang ia pelajari.
Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka pelan memecah keheningan. Marshal masuk dengan tubuh masih basah, rambutnya berkilau karena air, dan aroma sabun yang segar langsung memenuhi ruangan. Handuk tersampir di bahunya, dan pakaian santai yang baru ia kenakan tampak sedikit basah di ujungnya.
Marshal berjalan mendekati meja belajar Kathrina, kedua tangannya bertumpu pada tepi meja dan kursi yang diduduki adiknya. Ia menunduk sedikit, memperhatikan buku dan layar tablet yang terbuka di hadapan Kathrina.
"Masih lama, Kath?" tanya Marshal dengan nada santai.
Kathrina tidak langsung menjawab. Matanya masih fokus pada layar tablet. "Udah ku bilang, kalau masuk kamarku ketuk dulu," ucapnya datar, tanpa mengalihkan perhatian.
Marshal tersenyum kecil, tahu bahwa ia telah mengganggu ritme adiknya. "Hehe, iya, iya, maaf," jawabnya sambil menggaruk kepalanya.
Kathrina hanya bergumam pelan sebagai jawaban, tidak terlalu peduli, namun tetap disiplin dalam menjaga peraturannya sendiri. Ia melanjutkan menulis di atas buku, pulpen di tangannya bergerak cepat namun presisi, menunjukkan betapa seriusnya ia dalam setiap hal kecil sekalipun.
Marshal, yang sedikit bingung dengan sikap dingin Kathrina, memutuskan untuk duduk di atas ranjang di dekat meja belajar. "Kamu terlalu berlebihan nggak sih? Olimpiade terakhir aja nilaimu 97,5. Juara dua bahkan cuma dapet 80."
Perlahan, Kathrina menghentikan gerakan penanya. Ia meletakkan pulpen itu di atas meja, membiarkannya terselip di antara halaman buku yang terbuka. Setelah menghela napas pelan, ia menutup buku yang sedang dipelajarinya. Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar desis laptop yang masih menyala di sampingnya.
"Aku gagal mendapat nilai sempurna. Itu artinya masih ada yang harus diperbaiki," ucapnya serius, akhirnya memutar kursinya untuk menatap Marshal.
Marshal, yang sekarang sudah bersandar di ranjang dengan santai, balas menatap Kathrina. "Ya ampun, Kath, kamu ini memang nggak ada habisnya ya. Nilai 97,5 itu udah lebih dari bagus, orang lain bahkan nggak sampai setengah dari pencapaianmu."
Kathrina tidak menjawab langsung. Ia merapikan rambutnya ke belakang, seolah membiarkan dirinya sejenak keluar dari mode belajar yang intens. "Jadi, ada apa kamu ke sini? Nggak mungkin cuma buat ganggu aku belajar, kan?"
Marshal sedikit tertawa sebelum akhirnya menghela napas. "Aku baru aja ditelepon Eli. Gita udah siuman."
Wajah Kathrina sedikit melunak mendengar berita itu. Ia duduk lebih rileks di kursinya, meski tetap penuh kontrol diri. "Baguslah kalau begitu. Lain kali, jangan gegabah, Marshal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfiction(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."