Pagi itu, lorong-lorong istana penuh ketegangan. Jendral Raziel Habin, mantan komandan perang Kerajaan Valerian, melangkah cepat, suara langkah beratnya memantul di dinding batu istana. Zirah perangnya yang megah memancarkan kilauan redup di bawah cahaya obor yang terpasang di sepanjang lorong. Pedang perangnya tergantung di pinggangnya, seperti sebuah simbol bahwa situasi kali ini sangatlah genting. Di sisinya, Jendral Aidzar Hidaleth, komandan perang saat ini, berusaha menyesuaikan langkahnya dengan gerakan Raziel yang terburu-buru.
"Jendral Raziel, apa menurutmu ini tidak terlalu berlebihan?" ucap Jendral Aidzar, suaranya sedikit tertahan oleh napasnya yang agak terengah mengejar Raziel.
Raziel tidak memperlambat langkahnya, bahkan tidak menoleh. "Pertanyaan macam apa itu? Putra mahkota, dua petinggi kerajaan, dan seorang putri bangsawan dalam bahaya besar."
Jendral Aidzar mencoba menahan keberatannya. "Apakah tidak terlalu cepat untuk memutuskan ini sendiri? Bukankah kita perlu persetujuan baginda raja sebelum mengerahkan kekuatan sebesar ini?"
Langkah Raziel tiba-tiba berhenti. Ia berbalik, menatap mata Jendral Aidzar dengan tatapan tajam. "Dengarkan aku, Aidzar," ucapnya dengan suara rendah namun penuh kekuatan. "Sejak kematian Pangeran Shalzen, kau tahu raja kita sudah kehilangan kejernihan berpikirnya. Kau kira kenapa Pangeran Ariel begitu sering bertindak tanpa persetujuan beliau?"
Aidzar menelan ludah, mengingat perubahan raja yang tak lagi bisa diandalkan dalam membuat keputusan besar. Tetapi tetap saja, sesuatu dalam dirinya enggan menerima begitu saja.
"Tapi, Jendral..." lanjut Aidzar, suaranya meragu.
Raziel menatapnya dalam-dalam. "Raja kita tidak lagi waras, Aidzar. Pangeran Shalzen telah tiada, Pangeran Andaress tak jelas kondisinya. Jika kita kehilangan Pangeran Ariel, maka tidak ada lagi Kerajaan Valerian. Tidak ada lagi yang menahan kerajaan Eldoria dari menyerbu dunia luar. Dan tidak ada lagi pewaris mana Melvin Laksan," ucap Raziel.
Jendral Aidzar terdiam, wajahnya kini mulai menggambarkan keyakinan yang sama dengan Raziel. Kata-kata itu membuka kesadarannya akan ancaman besar yang sedang mengintai.
Dengan pandangan yang kini tegas, Aidzar mengangguk. "Baiklah, Jendral. Kuserahkan seluruh komando kepadamu," jawabnya dengan nada mantap.
Raziel mengangguk, sorot matanya menunjukkan kesungguhan seorang pemimpin perang yang siap menghadapi apapun. "Bagus. Siapkan seluruh persiapan perang. Kita akan melawan iblis di lembah Selvarin. Kerahkan kavaleri magis, isi penuh seluruh altileri sihir, posisikan pemanah magis dan penyembuh di tempat-tempat strategis. Pastikan semua infanteri elemental memiliki mana yang cukup. Kemudian..."
Belum selesai Raziel memberi perintah, seorang prajurit berlari menghampiri mereka. Dengan napas tersengal, ia langsung berlutut di depan kedua jenderal itu. "Maafkan kelancangan hamba menyela, Jendral Raziel dan Jendral Aidzar. Hamba membawa kabar penting—Pangeran Ariel dan tuan Freyana telah kembali dalam keadaan selamat."
Kedua jenderal itu terkejut, saling berpandangan sejenak, sebelum Raziel bertanya dengan nada cemas. "Di mana mereka sekarang? Bagaimana keadaan mereka?"
Prajurit itu menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. "Tuan Freyana dalam kondisi kritis, namun ia masih dalam keadaan sadar. Pangeran Ariel mengalami luka berat, tetapi kondisinya masih bisa ditangani oleh sihir penyembuhan. Mana Pangeran Ariel sangat tipis, hampir habis. Saat ini, mereka sedang diantar menuju istana dengan kuda."
Raziel mengangguk, raut wajahnya berangsur-angsur melunak, tetapi sorot matanya tetap tegas. "Baiklah, kau boleh pergi," jawabnya
Raziel menatap ke arah Aidzar, sorot matanya masih penuh dengan ketegasan, tetapi kini ada sedikit kelegaan. "Kutarik perintahku," ucapnya. "Siapkan perawatan terbaik untuk Pangeran Ariel dan Freyana. Pastikan mereka mendapatkan segala yang mereka perlukan untuk memulihkan diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfiction(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."