Muthe duduk di sisi ranjang Gita, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut yang melingkari tubuh Gita. Ruangan rumah sakit itu diterangi oleh lampu temaram yang menciptakan bayangan lembut di dinding, menghadirkan suasana tenang di tengah perbincangan ringan. Di depannya, Eli dan Flora duduk di kursi yang tersedia, sedangkan Jason berdiri di sisi lain ranjang, mengamati suasana dengan tenang.
"Iya, tadi kata dokter kak Gita besok udah bisa pulang, tapi mungkin malem, soalnya besok siang mau diperiksa lagi," ucap Muthe, senyum tipis mengembang di wajahnya. Suaranya terdengar riang, namun ada sedikit kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Eli yang duduk tegak menyilangkan lengannya sambil menatap adiknya dengan penuh perhatian. "Kamu kalau mau pulang, gak apa-apa kok, Muthe. Biar aku yang jagain Gita," ucapnya menawarkan dengan nada yang ringan namun tulus.
Muthe hanya menggeleng cepat, tawa kecil keluar dari bibirnya. "Ih, gapapa, Kak Eli. Kayak gak ngerti aku aja hehehe."
"Makasih ya. Kamu baik banget," ucap Eli tulus, mengangguk dengan ekspresi penuh rasa terima kasih.
"Gita, lulus SMA langsung nikahin aja Muthe, ya? Perkara duit segala macem biar aku yang urus," katanya dengan nada bercanda, namun ada sedikit kesungguhan dalam kata-katanya.
"Apasih, Kak Eli!" seru Gita dengan cepat, wajahnya langsung memerah. Namun, nada suaranya mengisyaratkan lebih banyak rasa malu daripada protes.
Tawa Eli meledak, mengisi seluruh kamar dengan keceriaan yang menggema di dinding rumah sakit.
Namun, di tengah suasana itu, senyum kecil muncul di bibir Gita. Matanya yang dalam menatap Eli dengan penuh kehangatan. "Tapi, kurasa dia sempurna bagi masa depan Gita, Kak Eli," ucapnya, suaranya lembut namun penuh makna.
Tawa Eli perlahan mereda, dan ia langsung memahami maksud dari perkataan Gita. Jason yang berdiri di dekat mereka memperhatikan interaksi itu dengan sedikit kebingungan. Ia melirik ke arah Eli, dan saat tatapan mereka bertemu, Eli hanya mengangguk pelan, memberikan semacam isyarat yang hanya Jason pahami.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Muthe yang duduk di ranjang Gita hanya bisa terdiam, wajahnya mulai memerah hebat. Telapak tangannya terangkat, menutup wajahnya yang kini berwarna merah seperti tomat. Wajah, telinga, bahkan lehernya kini memerah sempurna, seolah-olah ada api yang menyala di bawah kulitnya. Dia tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa merasakan kehangatan yang semakin menyengat di wajahnya.
Gita, yang awalnya tersenyum, kini tampak sedikit khawatir melihat reaksi Muthe yang mendadak merah padam. "M-Muthe? Kamu gapapa?" tanyanya dengan suara pelan.
Muthe perlahan membuka wajahnya dari balik kedua tangannya, matanya sedikit berkaca-kaca karena malu yang begitu mendalam. Dia menempelkan kedua tangannya di pipinya sendiri, mencoba meredakan panas yang terasa seperti membakar seluruh wajahnya. "A-Aku gabisa bayangin bakal nikah sama Kak Gita," bisiknya pelan, sebelum kemudian menambahkan, "Eh, bisa banget malah."
Wajah Muthe semakin merah setelah mengucapkan kalimat terakhir itu, dan dengan cepat dia mengibaskan kedua tangannya di depan wajahnya, berusaha sekuat tenaga untuk mendinginkan kulitnya yang terasa terbakar. "Flora, bantu aku Flora!"
Flora yang duduk di depannya tersenyum simpul, lalu dengan sigap turut mengibaskan tangannya ke wajah Muthe, meski dia juga menahan tawa kecil. "Sepi banget kalo nggak ada kamu, tau," ucap Flora.
Muthe, yang masih memerah, langsung melirik Flora dengan tatapan menggoda. "Kan ada Jason, Flo," balasnya sambil mengedipkan matanya pelan.
Flora tersentak sedikit, dan wajahnya langsung bersemu merah. "Eh, i-iya," balasnya sambil menghindari tatapan Jason, yang kini hanya tersenyum kecil di samping mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfic(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."