Suasana sore itu tenang dan hangat, cahaya matahari yang hampir tenggelam memancarkan kilauan jingga keemasan di sekitar panti asuhan, memberikan suasana yang lembut dan menyentuh hati. Dari kejauhan, terdengar tawa anak-anak yang bermain di halaman, bercampur dengan suara burung yang berkicau pelan di dahan pohon.
Aku berdiri di atas bangku kecil di depan wastafel, mencuci tumpukan piring yang tampak menggunung. Sesekali, aku menyeka keringat di dahiku, lalu mencelupkan tangan kembali ke air sabun yang dingin. Dari arah dapur belakang, seorang ibu asuh berteriak mengingatkan.
"Eliii, hati-hati, duri ikannya banyak!" serunya lantang, membuatku tertawa kecil.
"Iyaa, tantee!" Balasku dengan nada setengah bercanda, sebelum melanjutkan pekerjaanku.
Tubuhku yang pendek memaksaku harus berdiri di atas bangku agar bisa mencapai wastafel dengan nyaman. Aku berusaha berhati-hati agar tidak tergelincir, tetapi tetap fokus pada setiap piring yang kusabuni dan kubilas.
Dua anak kecil tiba-tiba muncul di sebelahku, masing-masing membawa senyum lebar di wajah mereka. "Kak Eli, mau bantu juga," kata salah satu dengan suara penuh semangat. Sementara anak yang lain mengangkat sebuah spons berwarna-warni sambil berseru, "Aku juga, aku punya spons baru!"
Aku tersenyum lembut, menahan tawa melihat tingkah laku mereka. "Ini bukan spons cuci piring, sayang. Ini busa mandi," jelasku. "Kalian udah mandi belum?"
Mereka menggeleng bersamaan, membuatku terkikik. "Nah, kalian berdua mandi dulu ya. Itu udah bantu kak Eli banget, oke?"
Dengan ekspresi penuh tekad, mereka mengangguk patuh. "Siap, Kak Eli!" jawab mereka serempak sebelum berlari kembali ke dalam.
Aku menarik napas panjang, sedikit lega. Namaku Helisma Putri, atau biasa dipanggil Eli. Aku hanyalah gadis kecil di panti asuhan ini, tanpa seorang ayah dan ibu yang meninggalkanku sejak aku lahir. Terkadang, aku iri melihat anak-anak lain yang masih merasakan hangatnya kasih sayang orang tua mereka — sesuatu yang tak pernah aku miliki.
Aku menghela napas, memandangi piring terakhir yang kuselesaikan. "Akhirnya, selesai juga," gumamku, bersiap untuk turun dari bangku. Namun saat kakiku melangkah turun, aku terpeleset, dan tubuhku melayang dalam sekejap.
"WAA!" teriakku panik.
Tapi, alih-alih merasakan kerasnya lantai, tubuhku tertahan, ada seseorang yang menangkapku. Aku mendongak, terkejut melihat senyum ceria anak laki-laki di depanku.
"Halo, Kak El. Kucariin dari tadi, ternyata ada di sini," ujarnya dengan tawa kecil.
Aku tersenyum lega. "Eh, halo, Gita. Makasih, ya..." Aku memandangnya dengan penuh syukur. Dialah Andaress Yogita, anak laki-laki sebaya yang sering bermain ke panti ini. Meskipun aku hanya beberapa pekan lebih tua, dia selalu memanggilku "Kak." Dia juga satu-satunya yang memanggilku "El" alih-alih memanggilku dengan nama "Eli." Gita bukanlah anak panti, tapi dia selalu hadir seperti saudara bagi kami semua.
Dia mengerling nakal. "Cih, ceroboh banget sih."
Aku memukul pelan lengannya sambil terkekeh, "Bawel, cil."
Namun, tiba-tiba, Gita meraih tanganku. "Ayo sini, Kak El, aku punya sesuatu." Ia menggenggam tanganku erat dan menarikku dengan hati-hati.
"Eh, pelan-pelan dong," aku tertawa, tetapi langkah kami tiba-tiba berhenti di depan pintu menuju halaman belakang.
Tiba tiba ia berhenti, akupun menatapnya dengan bingung. "Eh, ada apa? Kok berhenti?"
Gita menyuruhku diam dengan jari di bibir "sst.. nurut deh," dan tanpa peringatan, ia merangkulku dari belakang, membuat jantungku sedikit berdebar kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deux Mondes (Gitkathmuth 😁)
Fanfic(update tiap akhir pekan) "I can't do it, Helisma. Aku gabisa buat kathrina jatuh cinta lagi." "Maafin aku, Gita. Aku gabisa biarin kamu jatuh di tangan kathrina." "Jangan menangis, cantik. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah senyumanmu."