Episode. 6

23 15 7
                                    

Malam telah berlalu dan pagi baru saja tiba, bahkan kondisi Alfha sudah membaik dari sebelumnya. Deri sedang menata makanan yang baru saja disampaikan kepada pramusaji hotel.

"Alfha, kau sudah membaik?" tanya Deri ketika melihat Alfha keluar dari pintu kamarnya.

"Ya, aku pulih lebih cepat," jawabnya sambil duduk dan bersiap untuk sarapan.

Deri langsung menatap wajah Alfha Lamat-lamat, dia yakin semalam Alfha terlihat sangat sekarat. Namun akhirnya, Deri bisa bernapas lega karena tuannya sudah kembali sedia kala.

"Alfha, sepertinya kita punya masalah," kata Deri.

"Masalah apa?" tanya Alfha penasaran.

"Sepertinya ... pemilik sekaligus CEO gedung pusat perbelanjaan telah berganti orang."

"Kenapa bisa demikian?" tanya Alfha sedikit kaget.

Deri belum sempat menjawab pertanyaannya karena tiba-tiba saja sebuah channel televisi telah mengabarkan berita duka tentang meninggalnya CEO dari Departemen Store akibat kecelakaan maut tadi malam.

Siaran telivisi menunjukkan video bangunan gedung besar dengan tiang huruf 'Mega Mall' pada halaman depannya, bahkan sudah banyak reporter yang sedang menunggu seseorang.

Begitu yang ditunggu sudah tiba serempak para reporter dan awak kamera berkerumun untuk menghampirinya.

"Permisi, Pak, apa yang membuat mereka mengalami kecelakaan?" tanya salah satu reporter kepada lelaki yang baru saja turun dari mobilnya.

"Maaf, saya sedang berduka," jawab lelaki paru baya itu menolak untuk diwawancarai. Tentu hal itu dia lakukan hanya untuk berpura-pura dan beralibi atas meninggalnya sang kakak ipar berserta istri dan anaknya akibat rem mobil yang dikendarainya ada yang blong.

"Lalu bagaimana dengan gedung departemen store terbesar ini, Pak? Apakah para saham akan mendapatkan kerugian pascameninggalnya OWNER dan CEO?" tanya lagi reporter sedikit memaksa.

Lelaki itu tidak bisa menjawab pertanyaan dari beberapa reporter yang membanjiri halaman gedung itu, bahkan 5 orang pengawal menghalangi para reporter agar tidak bisa bertanya dan mengusiknya.

Semua pekerja yang berada di dalam gedung departemen store itu terlihat gaduh, mereka saling berbincang satu sama lain membahas musibah yang telah terjadi. Sang manager masih berjalan menuju ruang rapat, di mana ruang tersebut sudah banyak para karyawan dan beberapa para anggota saham yang mempertanyakan nasib mereka.

Setelah melihat breaking news terkini di pagi hari membuat Deri menarik napas panjang secara perlahan lalu menghembusnya kasar.

Alfha yang sudah melihatnya terdiam untuk sesaat hingga ia bisa mengambil keputusan.

"Deri, mungkin kita harus menunggu beberapa tahun lagi untuk menyewa tempat mereka."

"Tapi, tempat itu adalah tempat yang selama ini kau impikan," kata Deri mengingatkannya.

"Deri, kita kembali ke kantor saja hari ini!" pinta Alfha yang langsung berdiri untuk bergegas pergi.

Deri yang tidak bisa berkata apa-apa lagi hanya bisa mengekori langkahnya dari belakang hingga masuk ke dalam mobilnya.

Selanjutnya, Deri membawa laju mobilnya dengan tenang meskipun ia sedikit gelisah.

"huh, rupanya ... curah hujan yang tinggi membuat kecelakaan di mana-mana." Begitu komentar Deri sambil memutar setirnya.

"Bagaimana manusia bisa mati?" tanya Alfha ketika ia masih mencerna setelah melihat berita media pada gawainya.

Deri menoleh untuk sesaat, kemudian mendesah lalu kembali fokus pada jalannya.

"Pertanyaan apa yang kau lontarkan? Jelas manusia itu hidup memiliki usia yang berbeda-beda untuk bisa tinggal di planet bumi. Lantas, bagaimana manusia sepertimu tidak pernah mati? Bahkan kau tidak bisa tua," tutur Deri bertanya bingung, "eh, apa kamu dilahirkan oleh wanita yang disebut dengan ibu?" tanya lagi Deri.

"Hei, apa aku harus mengulangi penjelasan yang pernah aku ucapkan sebelumnya?" tanya Alfha dengan wajah sinisnya, "aku tidak dilahirkan karena aku adalah manusia yang terbuat dari tujuh manik cahaya bintang," sambungnya lagi sambil menutup tabletnya keras-keras.

Deri langsung bergidik ngeri melihat reaksi Alfha yang dingin telah kembali, tetapi dia hanya bisa menggeleng pelan. Baginya Alfha adalah lelaki yang perlu dihindari jika jiwa angkuhnya kembali muncul.

Waktu terus bergulir, musim silih berganti setiap tahunnya. Iya, sekarang sudah 19 tahun berjalan.

Pagi menjelang siang, angin bertiup lembut, dan awan putih yang bergerak saling beriringan, bahkan langit terlihat sangat biru eksotis.

Banyak gedung-gedung pencakar langit di keramaian kota, kendaraan yang berlalu lalang ke sana dan ke mari seakan tiada habisnya. Lampu merah sudah berhenti para pejalan kaki segera menyeberangi garis zebra cross.

Tampak seorang gadis berpakaian kemeja putih dengan rok sepan selutut lengkap dengan sepatu pantofel mengalunkan langkah kakinya yang terlihat jenjang.

Saat langkahnya berhenti tepat di halte bus wajahnya sedikit murung, kali ini dia mendesah cukup panjang karena perjalanan kariernya tidak semudah yang ia harapkan.

"Benar kata orang, semakin bertambah usiamu maka semakin sulit peluangmu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak." Begitu batinnya mengeluh.

Selang beberapa menit sebuah bus datang, maka dengan cepat gadis itu naik agar segera sampai ke rumahnya. Selama perjalanan gadis cantik itu hanya meratapi nasibnya, sorot matanya melihat keramaian kota sedangkan pikirannya tengah berada pada alam kosong seperti tidak pernah berujung.

Tersadar bahwa tempat tujuannya akan segera sampai, gadis itu mengeluarkan alat pembayarannya. Lagi-lagi dia kembali menghela napasnya ketika melihat uang pada dompetnya hanya tersisa beberapa lembar saja.

"Huh, bagaimana aku bisa bertahan hidup?" batinnya bertanya sambil membentur kepalanya pada kaca bus.

Gadis itu adalah Farizka, sering di sapa Rizka oleh orang di sekitarnya. Usianya sudah 20 tahun, ia hanya mengandalkan ijazah SMA untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Hampir 3 tahun Rizka tidak pernah mendapatkan pekerjaan tetap dan kini sudah hampir 8 bulan dia berkelana mencari tempat untuk menyambung hidupnya.

"Rizka pulang ...!" Gadis yang memiliki rambut panjang bergelombang itu berseru.

"Eh, bagaimana, Riz? Di terima?" tanya Bu Lira keluar dari arah dapur.

Dengan berat Rizka menggeleng.

"Huh, tidak apa-apa, Riz. Mungkin belum rejeki kamu," kata Bu Lira memberikan sedikit rasa semangatnya.

Rizka tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya ingin segera masuk ke dalam kamarnya untuk menghilangkan rasa penat.

Melihat punggung lelah yang baru saja masuk ke dalam kamar rupanya membuat Bu Lira turut prihatin. Mungkin inilah waktunya yang tepat untuk mengembalikan benda tersebut.

"Rizka! Apa ibu boleh masuk?" tanya Bu Lira mengetuk pintu kamarnya.

"Ya, masuklah!"

Bu Lira membuka pintu dan menghampiri Rizka yang baru saja duduk di atas ranjangnya.

"Rizka, sudah saatnya ibu mengembalikan ini padamu." Wanita yang usianya sudah paru baya itu menyerahkan sebuah kotak yang terbuat dari ukiran kayu jati. "Bukalah! Mungkin benda itu sangat berharga untukmu dan mungkin saja itu merupakan benda satu-satunya peninggalan keluarga asli kamu," tuturnya lagi.

Kini Rizka menerimanya lalu membuka kotak itu secara perlahan, dilihatnya batu manik kecil yang lebih mirip batu kristal yang sangat berkilau warnanya.

Untuk sesaat wajahnya tercengang. "Apa ini milikku?" tanya Rizka tidak percaya.

"Iya, hanya itu yang aku temukan saat pertama kali kamu datang ke rumah panti," jelas Bu Lira.

"Apa ini mahal?" tanya lagi Rizka.

"Mungkin." Bu Lira menjawab sedikit ragu.

Rizka langsung melirik wajah Bu Lira yang bulat dan kembali menatap batu kristalnya lekat-lekat.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang