Episode. 25

17 7 9
                                    

Di tempat lain. Bu Lira merasa bersalah karena merusak keran di pencuci piring pada rumah yang ia tumpangi. Air mengucur tiada henti membuat Bu Lira terpaksa menelepon Enggar melalui telepon rumahnya.

“Maafkan, Ibu,” kata Bu Lira saat Enggar berhasil memperbaikinya.

“Tidak apa-apa, Bu. Rumah ini sudah lama tidak terawat. Jadi, wajar saja akan ada kerusakannya,” balas Enggar tersenyum manis, kemudian langsung menatap di sekeliling dapur. “Apakah, kamu lapar?” tanya Enggar ketika dia melihat wajan di atas kompor dan melihat beberapa irisan sayuran di atas papan kayu.

“Tidak, aku ingin membuat makan malam untukmu, mungkin saja kau lapar setelah kembali dari pekerjaanmu,” sahut Bu Lira, “tapi sepertinya aku mengacaukannya,” sambung lagi Bu Lira kembali merasa bersalah.

Enggar menatap dalam wajah Bu Lira, kelembutan dan keramahan Bu Lira sangat mirip dengan mendiang ibunya. “Baiklah, setelah lantai ini bersih dari genangan air maka kau harus membuat makan malam yang enak untukku!" pinta Enggar pada akhirnya. Tentu, dengan senang hati Bu Lira menyetujuinya.

"Baiklah," sahut Bu Lira bersemangat.

Selanjut Enggar dan Bu Lira membersihkan lantai itu bersama-sama, setelah selesai mereka pun masak bersama, bahkan Enggar Juga menyantap makanannya dengan lahap meskipun tadi sudah makan gurita bakar bersama Rizka.

Kembali di tempat semula. Rizka tidak rela jika mendapatkan first kiss dari orang yang tidak mencintainya, apa lagi hubungannya tidak dalam hubungan yang intens maka ia langsung berlari untuk menjauh darinya, bahkan ia nyaris saja menangis sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Namun, beberapa detik kemudian Rizka sedikit berpikir. Iya, lelaki itu adalah bosnya, dia sudah memberikan kamarnya untuk bermalam juga gaji di awal, bahkan saat ini dia sudah kuyup karena melindunginya dari cipratan air ombak yang terhempas kasar.

Jalan ini terlalu sepi, bagaimana jika ia masuk angin? mengingat pakaiannya sudah basah. Terlebih lagi, ia pernah melihat Alfha sekarat.

Mata yang mengembun perlahan  menetes walaupun hanya satu titik hingga akhirnya ia menghentikan laju langkahnya dan kembali menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan Alfha di tempat semula.

Benar dugaannya, tubuh lelaki itu sudah luruh sambil mengerang kesakitan. Sontak Rizka kembali berlari untuk segera menolongnya.

“Tidak, apa kamu kesakitan lagi?” tanya Rizka panik sambil berusaha membantu Alfha untuk bisa berdiri.

Alfha tidak sanggup menahan rasa sakitnya, bahkan ia tidak bisa berdiri meskipun Rizka membantunya.

“Tidak, aku harus panggil Pak Deri, di mana ponselmu?” tanya lagi Rizka sambil memeriksa kedua saku celana Alfha. Akan tetapi, ponsel itu tidak ada di sakunya, “tidak, apa yang harus aku lakukan? Tidak ada kendaraan yang melintas,” kata Rizka sangat panik melihat wajah Alfha yang hampir saja membiru. Cemas.

Masih dengan kekuatan yang tersisa, Alfha kembali menarik tubuh Rizka lalu memeluknya dengan erat. Rizka tidak bisa lagi berontak karena lelaki yang memeluknya seakan sekarat. Iya, kali ini Rizka hanya pasrah untuk membiarkannya hingga tubuh yang semula dingin kini perlahan hangat secara berkala, kemudian pulih.

Sementara di dalam rumah apartemen pada sebuah ruang utama. Jam dinding sudah berada di angka 11 malam, Deri terlihat gusar karena Alfha belum juga kembali. Ia berjalan ke sana ke mari sambil menunggu pintu utama terbuka, sesekali dia meniatkan diri untuk menyusulnya lalu mengurungkannya lagi. Ragu.

“Ah, tidak, jika aku menyusulnya pasti dia sudah kembali ke rumah hanya dengan menjentikkan jarinya saja,” gumam Deri yang langsung memeriksa kamar dan ruang khusus pembuatan tembikarnya, tetapi kamar dan ruang itu kosong tanpa sosoknya.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang