Episode. 28

12 5 6
                                    

Rizka duduk termangu di dalam mobil bus yang terlihat begitu sepi dari penumpang yang lainnya. Sepanjang matanya mengarah sisi jalan yang panasnya terlalu terik untuk ia rasakan, selembar amplop medis berwarna coklat susu berukuran lebar masih berada dalam pangkuannya.

Iya, itu adalah hasil rekam sinar X dari dalam tubuhnya dan sejauh ini tidak ada benda asing berada di dalam tubuhnya.

Rizka benar-benar tidak bisa mengerti tentang batu kristal yang ia terima dari Bu Lira. Batu kristal macam apa yang menghilang ketika Rizka berniat untuk menjualnya dan kembali saat Rizka jauh dari toko perhiasan? Terlebih lagi, benda kecil yang berkilau itu lenyap di dalam lidah meskipun ia tidak serius untuk menelannya.

Masih sangat jelas dialog antara Rizka dengan sang dokter kala tadi.

“Apa kau yakin benda itu tidak ada di sana?” tanya Rizka masih butuh kepastian, “benda itu sekecil ini,” lanjut lagi Rizka menjelaskan bentuknya.

Sang dokter hanya menggeleng. Melihat respons itu, Rizka menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan bertanya dalam hati, “Ke mana hilangnya batu kristal itu?” Bahkan gaji awal yang ia terima kini hampir habis demi melakukan rekam medisnya, tetapi hasilnya justru sia-sia.

Rizka menyesalinya, seharusnya uang itu dia gunakan untuk kebutuhan yang lebih penting lagi.

“Haish.” Rizka memukul keningnya sendiri dan kembali teringat saat sesi konseling tadi.

“Apa selama ini kamu mengalami mual, pusing atau sakit perut?” Dokter yang usianya sudah tidak muda lagi sedikit bertanya kepada Rizka.

“Tidak,” jawab Rizka, pertanyaan itu rupanya membuat Rizka sedikit menyadari bahwa dalam beberapa hari ini kondisi tubuhnya baik-baik saja, bahkan ia tidak mengalami gejala flu dan masuk angin saat kebasahan dan kehujanan waktu di pesta itu. Iya, dia baik-baik saja meskipun telat makan sekali pun.

Biasanya gejala maagh sering muncul jika ia telat makan dan banyak pikiran, tetapi tidak untuk sekarang. Kenapa? Apa itu pengaruh oleh batu kristal? Entahlah?

Hingga akhirnya Rizka terpaksa untuk turun sebelum sampai pada halte terakhir dan mengalihkan niatnya untuk pergi ke rumahnya yang dahulu. Rizka berharap bisa bertemu dengan Bu Lira di sana untuk mempertanyakan tentang batu kristal itu.

Setelah sampai di sana. Tampak punggung seorang wanita paru baya tengah menyapu lantainya. Wanita itu memiliki postur tubuh yang sama dengan Bu Lira maka dengan cepat Rizka memacu langkahnya untuk memastikan bahwa itu adalah Bu Lira.

Begitu tangan Rizka berhasil menyentuh pundaknya, wanita itu menoleh dan bertanya. “Apa kamu kenal saya?”

Sontak Rizka merasa tidak enak hati setelah melihat bahwa wanita itu bukanlah Bu Lira. “Maaf, sepertinya aku salah orang,” sahut Rizka sedikit mundur, “maaf,” ucap Rizka sekali lagi lalu kembali berbalik untuk pergi meninggalkan area rumah yang dahulu dia tempati bersama Bu Lira.

“Tunggu!” pinta wanita itu menghentikan kaki Rizka untuk melangkah dan membuat Rizka kembali menoleh, “siapa namamu?” tanya wanita itu kemudian.

“Aku?” Rizka menjulurkan jari telunjuk ke arah dirinya sendiri.

"Iya, siapa namamu?"

"Oh, namaku Farizka," jawabnya kemudian.

“Sudah kuduga, sekitar satu jam yang lalu ada seseorang yang datang, katanya dia adalah penyewa rumah ini sebelumnya,” tutur wanita itu, “tunggu sebentar! Aku akan segera kembali,” pintanya lagi lalu masuk ke dalam rumahnya, sedangkan Rizka masih berdiri untuk menunggunya.

Hingga beberapa detik kemudian, wanita itu keluar sambil membawa tas besar pada tangannya. Rizka sangat hafal siapa pemilik tas besar itu.

“Ini adalah tas ibuku,” kata Rizka.

“Iya, beliau menitip tas ini kepadaku dan berpesan jika ada seorang gadis bernama Farizka, tolong berikan tas ini untuknya! Syukurlah kau datang maka aku bisa menyampaikan amanahnya.”

“Apa dia memberi tahu di mana dia tinggal?” tanya Rizka penuh harapan.

“Tidak, dia tidak berkata apa-apa lagi selain tas itu.”

Setelah mendengar jawaban itu, tampaknya Rizka sedikit berkecil hati dengan wajah murung dia pun berucap. “Baiklah, Bu, terima kasih banyak.” Lalu kembali berbalik untuk segera pergi.

Rizka kembali duduk di halte untuk menunggu bus yang akan membawanya ke apartemen. Cukup lama bus itu datang maka ia membuka tas yang ternyata isinya adalah pakaian milikinya, bahkan terdapat secarik kertas di dalamnya.

Perlahan Rizka membuka lipatan kertas untuk dibaca.

“Rizka, Ibu berharap kau baik-baik saja, begitu juga Ibu di sini dalam kondisi yang selalu baik dan aman. Kau sudah besar tidak seharusnya aku menggantungkan hidupku denganmu, kau juga harus mencari seseorang yang bisa menjagamu. Baiklah, jangan cemaskan aku karena aku sudah bisa bertahan hidup dengan hasilku sendiri sebagai pekerja rumah tangga, cemaskan saja dirimu! Tetaplah tersenyum apa pun yang menyakitimu. Jaga dirimu! Dan jangan mencariku. Periksalah pocket bag sisi kanan! Ibu yakin benda itu merupakan bukti satu-satunya untukmu.”

Begitulah tinta yang telah Bu Lira torehkan untuk Rizka, dengan mata yang sedikit berair Rizka membuka pocket bag dan ternyata Bu Lira meletakkan potongan kain usang dengan bordiran bunga mawar di sana.

“Semoga benda itu bisa membantumu dari mana kau berasal dan siapa keluargamu karena ibu sangat yakin bahwa potongan kain itu adalah pakaian pertama yang kau kenakan saat pertama kali kau sampai di rumah panti.”

Melihat itu Rizka tak kuasa menahan air matanya, ia meremas dan menggenggam erat potongan kain lalu merengkuhnya meskipun Rizka belum rela jika hubungannya dengan Bu Lira harus terpisah, tetapi dia harus menerima faktanya.

Fakta bahwa Bu Lira bukanlah ibu kandungnya, fakta bahwa ia ditinggalkan oleh keluarganya. Tidak, mungkin ia dibuang begitu saja oleh kedua orang tuanya, atau ... mungkin saja mereka tidak menginginkan dirinya ada di kehidupan mereka sehingga ia harus dititipkan ke rumah panti.

Selama ini Rizka tidak pernah memikirkan dari mana asal usulnya karena hidup bersama Bu Lira saja sudah cukup baginya.

Bulir bening di ujung matanya tidak bisa ia bendung lagi maka ia pun menangis sejadi-jadinya hingga semua yang telah lama menjadi beban di hatinya kian melebur lalu terlepas dahaganya.

Nasib apa yang ia terima? Selain Bu Lira ia tidak memiliki keluarga yang lainnya. Andai orang tuanya tidak membuangnya mungkin ia adalah seorang anak gadis yang beruntung.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang