Episode. 27

10 6 5
                                    

Tiya memapah Alfha untuk bisa duduk di sofa panjang yang selalu tertata pada ruang tengah. Ketika Alfha sudah duduk bersandar, Tiya langsung melihat-lihat seisi ruangannya. Iya, Banyak gerabah yang sudah melalui proses pembakaran tersusun rapi pada rak dinding sebesar 3 meter di ruang utama.

Tiya sampai takjub melihatnya karena setiap bentuk tembikar dan gerabah-nya terlalu unik dan klasik meskipun ada beberapa jenis yang sudah retak di berbagai sisi, tetapi itu tidak mengurangi energi estetik-nya.

“Apa kau kolektor benda kuno ini?” tanya Tiya, jari-jari yang kukunya yang ber-nail art menyentuh benda-benda itu dengan halus.

Alfha tidak menjawab pertanyaannya karena Alfha bukan manusia yang suka memburu benda-benda itu, melainkan membuatnya ketika ia hidup di jaman neolitikum.

Menyadari dirinya sudah diabaikan Tiya langsung menoleh dan menghampirinya. “Apa kau perlu sesuatu?” tanya Tiya kemudian.

“Tiya, sebaiknya kau pergi dari sini!” pinta Alfha.

Sesaat Tiya tercengang karena merasa Alfha mengusirnya, padahal Tiya bersusah payah membawa tubuh sekaratnya agar sampai di rumah. Namun, itu tidak merubah apa pun, wajah tampannya masih terlihat dingin dan angkuh.

“Tidak bisa, kau seakan mau sekarat tadi, bagaimana bisa aku pergi dari sini?” tolak Tiya. Cemas.

“Tiya,” panggil Alfha menatap tegas agar Tiya mau mengerti, “terima kasih,” sambungnya lagi sambil buang muka dan tidak ingin peduli lagi dengan wanita berpakaian glamor tersebut.

“Baiklah, sebelum aku pergi akan aku buatkan segelas air hangat untukmu,” lanjut Tiya sembari mencari di mana letak dapurnya, kemudian kembali untuk menyerahkannya.

"Apa kau yakin jika aku pergi, sepertinya ... tidak ada orang lain di sini," ujar Tiya agar Alfha merubah pikirannya.

"Pergilah!" Alfha memang menerima gelasnya, tetapi tidak dengan orangnya.

Satu kata darinya berhasil membuat Tiya kembali tercengang.

"Kenapa masih berdiri? Pergilah!"

"Baiklah," ucap Tiya dan langsung berbalik untuk  meninggalkannya meski tidak rela.

Setelah sampai di mobil yang ia parkir pada basement, ia langsung membuka pintu mobilnya. Namun, ia sangat kesal dengan perlakukan Alfha barusan sehingga ia harus kembali menutup pintu mobilnya keras-keras.

“Haish, sial. Apa itu? Kenapa kau tidak bisa melihat ketulusanku?” tanya Tiya bermonolog, “hah, setelah aku membantumu kau hanya mengusirku dengan tatapan jelek seperti itu,” lanjut lagi Tiya menirukan wajah dingin Alfha, “seharusnya kau menahanku maka aku akan bersenang hati untuk merawatmu,” sambung lagi Tiya kembali membuka pintu mobilnya dan masuk, kemudian berlalu dari tempat ini.

Tiya membawa kekesalan hatinya ke hadapan pak tua yang tengah sibuk di ruang kantornya, bahkan Tiya langsung menerobos tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu.

“Ada apa dengan wajah cemberut itu?” tanya Pak Hardi setelah menoleh ke arah siapa yang baru saja masuk ke ruangannya tanpa permisi.

“Ayah, lelaki macam apa dia?” Tiya kembali bertanya sambil membanting diri untuk duduk di sofa tamu, kali ini Tiya sedikit mendengus. Kesal.

Pak Hardi mengernyitkan keningnya. “Apa kau baru saja bertanya soal Alfha?”

“Iya, Ayah, apa dia memiliki penyakit?” tanya Tiya menatap wajah Pak Hardi lekat-lekat.

“Tidak mungkin, dia lelaki yang gagah dan penuh stamina,” sahut Pak Hardi tidak percaya, “kenapa kau bertanya soal itu?” tanyanya lagi, kali ini sedikit merasa penasaran dengan pertanyaan Tiya.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang