Episode. 12

22 12 3
                                    

Ini merupakan hari kedua Rizka bekerja di toko tembikar. Semalam dia sudah berbicara kepada si pemilik rumah sewa jika ia hanya bisa membayar setengahnya dan sisanya akan dibayar nanti malam setelah mendapatkan gaji awal sesuai perjanjiannya dengan Deri.

Meskipun begitu, bukan berarti Rizka dan Bu Lira harus aman karena pemilik sewa sangat tegas, apalagi sampai memberikan ultimatumnya jika malam ini Rizka telat melunasinya maka bersiaplah untuk dirinya dan Bu Lira keluar dari rumah sewa apa pun itu alasannya.

“Bu, hari ini aku akan pulang sedikit larut,” ujar Rizka sambil bersiap memakai sepatu pantofelnya.

“Riz, kamu yakin ingin berkencan dengan bos kamu itu?” tanya Bu Lira merasa khawatir.

“Kencan ini hanya untuk pura-pura, Bu, hanya untuk satu malam, dan ... kencan itu juga termasuk lembur,” jawab Rizka tersenyum.

“Tapi, Riz—“

“Bu, Pak Deri itu orang baik, dia sudah berjanji tidak akan menyentuhku kecuali hanya sekedar merangkul lengan.” Rizka memotong perkataan Bu Lira supaya tidak berpikir aneh-aneh.

“Baiklah, ibu percaya padamu,” kata Bu Lira memaksakan dirinya untuk berpikir positif.

Melihat raut Bu Lira yang terlihat cemas Rizka kembali tersenyum lalu meraih kedua tangannya untuk ia genggam. “Bu, tenanglah! Rizka hanya berpura-pura untuk semalam saja, itu pun tidak lebih.”

“Iya, berhati-hatilah!” pinta Bu Lira sambil manggut-manggut untuk merelakannya.

“Baik, Bu, Rizka berangkat dulu, ya,” pamitnya.

Tanpa mereka sadari jika pertemuan ini adalah hal yang terkahir bagi mereka.

Seperti hari pada biasanya, pagi ini Deri dan Alfha pergi ke toko tembikar bersama-sama. Deri langsung duduk di kursi sopir sambil meletakkan paper bag bewarna mocca ke kursi belakang.

Alfha yang sudah masuk terlebih dahulu sampai melirik apa yang baru saja diletakkannya, dia tahu betul bahwa paper bag itu merupakan pakaian bermerk terkenal.

Tanpa rasa segan lagi Alfha langsung menanyakannya. “Untuk apa dengan pakaian itu?” Alfha tahu jika logo yang tercantum pada paper bag-nya adalah simbol pakaian wanita muda.

“Itu hanya untuk bersenang-senang,” sahut Deri yang langsung memacu gas mobil untuk menuju toko tembikarnya.

“Deri, kamu sedang tidak memiliki kekasih ‘kan?” tanya Alfha heran.

“Hei, kita harus pergi ke pesta dan aku butuh pendamping wanita,” jawab Deri yang sangat fokus menjalankan setirnya.

“kamu tidak boleh berkencan! Dan aku benci itu,” ujar Alfha, sebal.

“Alfha, sering kukatakan, biarkan aku menikmati masa puberku!” bantah Deri, geram.

“Hah? Masa puber kamu sudah habis dan sekarang kamu berada di masa andropause,” balas  Alfha tidak mau kalah.

“Apa kau bilang? Andropause?" tanya Deri terkejut, bahkan ia sempat tertawa geli, "terserah kau saja, tetapi ku tidak peduli lagi dengan segala laranganmu, intinya malam ini aku ingin menjalankan pesta dengan seorang wanita, lagi pula kau juga akan bertemu dengan gadis kaya raya di pesta itu,” papar Deri cukup keras kepala, “dan ... akan ada pesta dansa di sana,” lanjut lagi Deri memberi tahunya, bahkan wajahnya cukup ceria dan bersemangat.

“Aku tidak suka pesta,” kata Alfha, “sapa pun gadis itu, aku tidak tertarik.” Lelaki dingin itu membuang wajahnya ke arah lain.

"Ck, kenapa hidupmu sangat membosankan?" tanya Deri, sebal, "tidak bisakah kau menikmatinya walaupun hanya sekali."

"Tidak bisa," sahutnya, "cih, bagaimana bisa manusia membuat pesta untuk merayakan ulang tahunnya? Sudah jelas usia mereka berkurang satu tahun untuk bisa hidup di bumi," ujarnya kemudian.

"Hei, usiamu tidak pernah bisa berakhir, kenapa kau memikirkan soal itu?" cecar Deri, "dengar, ya! tujuan manusia merayakan ulang tahun adalah untuk menghargai hidup yang sudah ada dan yang lebih pentingnya lagi adalah untuk menciptakan sebuah kenangan yang berharga." Deri memperjelasnya.

Alfha diam untuk sesaat. Iya, dia berbeda dengan manusia bumi karena mereka tahu kapan hari ulang tahunnya terjadi, sedangkan Alfha adalah manusia abadi yang tidak pernah tahu kapan dia diciptakan.

"Hei, setir mobilnya pelan-pelan!" titah Alfha agar suasana kembali tenang tanpa harus berdebat lagi maka Deri pun memutar setirnya dengan fokus dan tenang.

Di waktu yang sama, di dalam bangunan huni komersial yang cukup mewah dan berkelas. Sebuah bangunan yang terasnya terdapat dua pilar, bahkan sebelum masuk ke ruang utama yang luas sudah terlihat cladding wall bewarna emas di setiap sudutnya hingga terlihat satu ruang makan, di mana sudah tersaji banyak hidangan mewah di atas mejanya.

Pak Hardi bersama putrinya sedang sarapan pagi bersama sambil membahas tentang pesta yang sudah ia rencanakan sebelumnya.

Akan tetapi, Pak Hardi merasa jika putrinya sedikit tidak bahagia.

“Tiya, apa yang kau pikirkan?” tanya Pak Hardi sambil membelah daging steak dengan pisaunya lalu melahapnya dengan garpu.

“Tidak ada, Ayah, Tiya hanya merindukan Ibu,” jawab Tiya sedikit berduka, “jika saja Paman Fahmi beserta keluarganya tidak mengalami kecelakaan maut itu, mungkin Ibu tidak akan meninggal akibat serangan jantung.” Gadis yang hari ini genap 20 tahun berucap lara.

Mendadak Pak Hardi diam, tangannya yang sedang memotong daging steak kedua kini terpaksa ia hentikan.

“Tiya, ibumu meninggal karena dia menderita sakit yang terlalu lama,” jawabnya kemudian, “usiamu terlalu kecil sehingga kau tidak memiliki kenangan apa pun tentang ibumu,” lanjutnya sambil meraih gelas kaca berkaki dan menenggak airnya.

“Kau benar, Ayah, aku tidak bisa mengingat seperti apa wajah Ibu dan aku juga tidak bisa mengenali seperti apa keluarga Paman Fahmi termasuk sepupuku sendiri.”

“Sudahlah, Tiya, Ayah tidak mau mendengar perkataan yang membuat suasana menjadi kesedihan. Hari ini Ayah hanya ingin putri Ayah bahagia dan Ayah sudah menyiapkan pesta ulang tahun untukmu,” tuturnya tersenyum manis.

“Baik, Ayah,” kata Tiya mengerti jika ayahnya bersikap demikian itu semata-mata karena ayahnya sangat menyayanginya.

“Bagus, pastikan kau memakai pakaian yang cantik! Malam ini Ayah akan memperkenalkan kamu dengan pemilik apartemen sekaligus rumah tembikar yang terkenal di tengah kota.” Pak Hardi berdiri untuk menyudahi sarapan paginya lalu pergi keluar menuju departemen store Mega Mall.

Gadis yang memiliki rambut lurus sepinggang itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Namun, dia bisa menatap punggung ayahnya yang lebar hilang di balik pintu besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran batik.

Baiklah, Tiya akan melupakan apa yang menjadi pikirannya. Saat ini dia hanya perlu menjadi gadis yang baik untuk ayahnya, apalagi ia akan bertemu dengan seseorang yang spesial. Tentu, orang itu adalah incaran ayahnya. Iya, pasti orang itu adalah hal yang baik untuk Pak Hardi juga untuk dirinya.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang