Episode. 20

18 10 3
                                    

Dengan susah payah Deri memapah Alfha untuk berbaring di sofa. Tubuh tingginya terlalu berat untuk dia papah seorang diri. Namun, bagaimana pun harus ia lakukan karena baginya hanya Alfha-lah keluarga satu-satunya.

“Hufht." Deri mendesah, "sebenarnya ada apa dengan tubuhmu?” tanya Deri, bingung melihat Alfha tidak seperti biasanya, bahkan garis wajahnya terlihat sangat cemas.

“Deri, aku melihatnya,” ujar Alfha yang tidak menjelaskan apa-apa.

“Apa yang kau lihat?” tanya Deri lagi.

“Sebuah batu kristal yang dulu pernah jatuh ke tanah, saat aku ingin menyelamatkan Keiko,” jawab Alfha yang belum sadar jika itu adalah manik kedua yang ia berikan untuk menyelamatkan seorang balita dari kecelakaan maut 19 tahun yang lalu.

“Alfha, apa kau sangat sulit melupakan masa lalumu itu?” tanya Deri sangat tidak menyukainya, “kau tidak boleh begini, lupakan dia dan bukalah hatimu untuk seseorang!” lanjut Deri makin khawatir.

“Deri, aku tidak bisa membuka hatiku,” katanya.

“Kenapa?” tanya Deri tidak mengerti.

“Entahlah?” Begitu jawaban Alfha kembali menatap nanar ke arah guci yang selama ini dia simpan pada mika kaca.

Dia memang makhluk abadi, tetapi memiliki rasa hati yang sama seperti manusia bumi kebanyakan. Kisah cinta bersama Keiko terlalu perih. Kenapa manusia bumi harus mati? Sama seperti Keiko yang mati meninggalkan bekas hingga menyayat hatinya lalu membuatnya beku. Maka dari itu, dia tidak mau mencintai karena takut merasakan sakitnya kehilangan.

“Apa sekarang tubuhmu masih sakit?” tanya Deri setelah melihat rona wajah Alfha perlahan pulih, padahal sebelumnya terlihat pucat.

Mendengar pertanyaan Deri, Alfha langsung menyadari jika rasa sakitnya sedikit berkurang.

“Ya, ini akan hilang beberapa jam saja,” jawab Alfha sambil merebah tubuhnya di atas sofa.

"Hufth." Deri kembali mendesah, kali ini lebih panjang, “bukankah kejadian yang kau rasakan itu sangat aneh?” tanya Deri tidak mengerti, "dalam seumur hidupku, aku tidak pernah melihatmu begitu kesakitan dan ini yang kedua kalinya aku melihatmu seperti ini."

Alfha kembali bergeming karena pertanyaan Deri juga sama di dalam benaknya. Iya, Apa ini ada pengaruhnya terhadap batu kristal yang ia lihat dari kilas baliknya tadi?

Di samping itu, Rizka tampak gusar. Ia tidak bisa memejamkan matanya, padahal jarum jam sudah berada di pukul 1 pagi. Tubuhnya bergulir ke kanan lalu ke kiri hingga memutuskan untuk memeluk bantal guling. Namun, posisinya membuat ia teringat kejadian saat Alfha berada di atas tubuhnya maka langsung saja ia menendang bantal guling itu sejauh mungkin.

"Argh!" Rizka menggeleng kasar, "kenapa adegan itu bergentayangan di otakku, sadar Rizka, sadar!" Lalu menepuk kedua pipinya berkali-kali guna mengusir pikiran mesum yang cukup menjengkelkan.

Kemudian Rizka mengubah posisinya. Iya, menelungkup mungkin cara terbaik untuk bisa tidur lebih cepat, tetapi tetap saja hasilnya nihil maka ia kembalikan posisinya hingga bola matanya yang bulat bisa menatap langit-langit kamar.

Kini sekarang ia teringat Bu Lira yang entah berada di mana.

Langit gelap rupanya membuat kota sangat hening, mungkin karena jam 1 dini merupakan jam tidurnya orang-orang. Meskipun begitu, masih ada beberapa kendaraan kecil yang beraktifitas.

Bu Lira masih duduk berdiam di pinggir ruko yang sudah ditutup oleh empunya. Dia tidak bisa menemukan tempatnya untuk kembali, bahkan dia tidak memiliki ponsel untuk menghubungi Rizka.

Seluruh jalan tampak lembab akibat hujan tadi maka dia memutuskan untuk kembali melangkah menuju rumah sewa dan memastikan bahwa Rizka mungkin saja menunggunya di sana. Setelah dia tiba, ternyata rumah sewa itu sudah ditempati orang lain, Bu Lira melihat ada mobil pick up  beserta tiga orang yang tengah sibuk menurunkan beberapa benda berat diboyong ke dalam rumah itu.

Sedangkan pada jam segini Enggar memiliki kebiasaan bersepeda malam jika kesulitan tidur. Saat mengayuh ia sudah memperhatikan Bu Lira dari kejauhan, ia lihat ada raut kesedihan pada wajah Bu Lira dan berpikir jika Bu Lira mirip dengan sosok ibu yang belum lama sudah tiada maka ia pun menepi lalu meninggalkan sepeda gunungnya untuk menyapa Bu Lira.

“Apa yang Ibu lihat?” tanya Enggar menatap jauh ke arah yang sama.

“Rumah itu cepat sekali berganti orang,” jawab Bu Lira tidak menyadari siapa yang bertanya.

“Apa kau baru saja diusir?” tanya Enggar sambil melihat tas besar yang masih saja dijinjingnya.

Seketika Bu Lira menoleh karena baru menyadari ada seseorang di sampingnya.

“Oh, maaf, seharusnya saya tidak begini,” jawab lagi Bu Lira tersenyum getir sambil menahan air matanya keluar yang kemudian langsung berbalik untuk segera pergi.

Melihat hal itu, rupanya membuat hati Enggar sedikit terenyuh.

"Mau ke mana kamu pergi? bukankah kamu tidak memiliki tujuanmu.” Lelaki tinggi yang masih mengenakan jaket sport kini menghadangnya.

Bu Lira menatap wajah polos wajah Enggar, mungkin pria muda ini berusia sama dengan Rizka.

“Aku sedang menunggu putriku kembali,” kata Bu Lira, akhirnya air matanya yang ia bendung kini menetes begitu saja hingga membuat dia berbalik untuk menyembunyikannya, bahkan berniat untuk segera pergi. Malu.

Akan tetapi, Enggar menghadangnya.“Ibu, ini sudah sangat malam, di sini juga dingin, bagaimana jika kamu tinggal di rumahku saja,” kata Enggar memberikan sarannya.

Bu Lira diam sejenak karena ragu. Bagaimana bisa anak ini berbaik hati, padahal baru saja bertemu.

“Rumah itu ...." Enggar perlu berpikir agar Bu Lira tidak mencurigai ketulusannya, "aku tidak bisa merawat rumah itu sendirian, bahkan aku tidak memiliki kemampuan untuk bayar seorang pembantu. jadi ... anggap saja kita mengambil keuntungan dari sini,” jelas Enggar dengan hati-hati, “ya ... aku butuh seseorang yang mau merawat rumahku dan Ibu harus punya tempat tinggal, bukan?“

Awalnya Bu Lira diam memerhatikan ketulusan Enggar sampai beberapa detik ia bisa mengambil keputusannya.

“Baiklah, Anak baik, bawa I ku Ibu ke rumah itu!” pinta Bu Lira sambil tersenyum tipis.

Mendengar hal itu, Enggar sangat bahagia. “Sini! Akan aku bawa tas ini untukmu,” ucap Enggar meraih tas besar yang dibawa Bu Lira.

Kini mereka berjalan saling beriringan satu sama lain, langkah mereka berhasil membelah kabut tipis di malam hari.

Benar saja, Enggar membawa masuk Bu Lira ke dalam rumahnya. Rumahnya cukup besar, bahkan terlalu besar untuk ditempati oleh dua orang. Ada tiga kamar di dalamnya dan rumah itu memiliki ruangan yang sangat lengkap.

“Apakah kamu tinggal sendirian?” tanya Bu Lira menatap sekelilingnya.

“Iya, Rumah ini terlalu lama dibiarkan kosong,” jawab Enggar sambil meletakan tas besar milik Bu Lira.

“Ke mana orang tuamu?” tanya Bu Lira.

“Lima bulan yang lalu ibuku meninggal, sedangkan ayahku memilih untuk meninggalkan negaranya dalam kurun waktu yang sangat lama,” jawab Enggar tersenyum, “dan ini kamarmu,” lanjut lagi Enggar membuka pintu kamar yang letaknya berdekatan dengan dapur. “Maaf, ini agak mendesak, jadi aku belum sempat membersihkannya.” Lelaki itu terlihat tidak enak harus memberikan kamar kosong yang debunya masih tebal menempel.

Mendengar penuturan tentang orang tuanya, Bu Lira sedikit merasa iba. Mungkin anak ini harus kesepian tinggal di rumah ini.

Alfha-Rizka (Loved By Star Man)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang