12 - mon chéri

157 26 30
                                    

“Rokok?”

Zakiel menggeleng tegas ketika Ozzie menawarkan sebungkus padanya. “Nggak.”

Terkejut sesaat. Ozzie tersenyum remeh. “Kalau lo nolak nggak sampai lima menit nyomot sebatang, mau gue ketawain di kuping kanan apa kiri?” Dia menjamin kalau Zakiel tidak benar-benar bisa menahan hasrat untuk menghisap barang nikotin tersebut.

Alih-alih menyesal, Zakiel justru menampilkan senyum khas dibarengi ekspresi serius. “Kalau seharian gue nggak ngerokok, lima juta lo masuk rekening gue.” taruhnya.

Zakiel bukanlah sosok yang mudah ditantang. Kecuali itu melibatkan harga dirinya yang dijunjung tinggi, taruhan bukan jalannya kecuali dia ingin, maka dengan menantang balik dan menyuarakan sistem materialis lebih dia akan sangat senang menyetujui ucapan Ozzie. Uangnya tidak sungguhan dia gunakan secara pribadi, Zakiel tidak kekurangan lembaran kertas berwarna tersebut, kadang hal tersebut hanyalah sebuah pancingan semata agar temannya tidak lagi bersikap meremehkan apa yang dia lakukan.

“Kecil segitu mah. Coba aja kalau bisa.” sahut Ozzie. Dia bertaruh senilai lima juta, namun bukan sebuah perkara besar. Harga yang sebenarnya tidak sebanding dengan penggadaian hasrat alami manusia, terutama kaumnya pada barang batangan tersebut.

Nejiro penasaran, lantas bertanya. “Kenapa nggak nyebat?”

Sekilas melirik, Zakiel meneguk secup cappucino dan meletakkannya kembali ke atas meja. “Leeya nggak suka asap rokok.” jawabnya.

“Calon-calon bucin mampus.” Petra berkomentar. Mendadak isi kepalanya membayangkan bagaimana sosok seperti Zakiel yang akan berlutut dihadapan sang pujaan, kemudian tiap bertemu mengatakan ungkapan kasih dan sentuhan sayang, yang sialnya hampir membuat Petra memuntahkan isi perutnya, merasa mual serta merinding. Tidak kuat hanya dengan sekilas bayangan absurd yang hadir. Sama sekali tidak cocok untuk perangai keras serta dominan Zakiel yang terlihat.

Nejiro tertawa kecil, mengibaskan tangannya. “Biarin aja lah, buat pengalaman.” Berkedip sebelah mata, cara instan menggoda temannya. Zakiel mendengus, segera mengedarkan pandangan ke sisi lain dengan gerutuan dalam hati.

“Satu pertanyaan pasti nih.”

Meski Zakiel enggan menanggapi, gerakan kepalanya yang naik turun justru menjadi respon otomatis hingga Petra menatapnya lebih serius.

Walau agak ragu karena paham bagaimana reaksi temannya yang tidak akan membenarkan juga menyanggah, tetapi Petra tetap mencoba, isi kepalanya sudah tak kuat lagi menampung pertanyaan yang sama dengan segudang spekulasi acak terbentuk. Dia membasahi bibir bawahnya dulu sebelum mulus bertanya, “Tapi belum pacaran?” Nyatanya, ketika lontaran pertanyaan tersebut terucap, respon yang sudah diwaspadai Petra dan siap disergap cercaan pedas justru sirna begitu saja mendengar sahutan teramat singkat Zakiel.

“Nanti.”

Mendengus kasar. Meski respon tidak seburuk yang dibayangkan, namun jawabannya sama sekali tidak memuaskan. Seperti biasa, Zakiel sangat mengagumkan dalam kenaikan tensi darah manusia hingga sampai puncak batasnya. Gemas sekali membuat jengkel. Petra berucap, “Kalau nanti keburu diambil alih sama yang lain.”

Zakiel menggidikkan kedua bahunya. “Nggak.”

Kedua alis Petra menukik, bagian ujungnya hampir menyatu. “Yakin banget? Lo kelihatan santai untuk ukuran cogil. Yah, mana tau ada yang lebih gercep ketimbang lo yang cuman ngawasin terus gerak semaunya.”

Kening Zakiel berkerut tak suka. Matanya menatap lebih tajam. Sejenak sengaja menyimpan suara dan menekan suasana canggung yang sontak membuat Nejiro mengusap lengan atasnya sementara Petra menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal. Kemudian, Zakiel berujar dengan intonasi datar. “Faktanya. Gue cinta dia, dan dia juga sama. Selesai.” Cowok itu menyeringai. Kemudian memberitahu sedikitnya tentang perhara yang dipermasalahkan. “Jangan rumit ngebahas soal asmara.”

mon chériTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang