00 - mon chéri

888 76 10
                                    

Pada sebuah kamar luas, salah satu penghuni disana berdiri gagah dengan kening berkerut dalam. Wajahnya menampilkan keraguan, dia melirik seseorang didepan lanjut berpindah pada yang sedang tertidur diatas kasur. Helaan napas panjang terdengar, dia menggaruk leher belakang, masih dilingkupi keraguan lantas berbicara, “Lo yakin lakuin ini?”

“Kenapa?”

Ozzie berdecak kesal. “Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue.” Melirik sinis pada temannya yang kelihatan tak peduli, menanggapi dengan remeh.

Zakiel terkekeh, menggaruk ujung alisnya sambil berdesis pelan. Dia berdiri tak kalah gagah dihadapan Ozzie, melipat kedua tangannya setelah sekilas menatap pusat hatinya disana. “Justru dia alasan gue lakuin ini.”

Jika boleh dikatakan secara gamblang. Ozzie merasa jijik dengan tingkah laku asing Zakiel sekarang. Heran dan agak takut. Sungguh, orang-orang pun akan berpikir sama dengannya, karena sosok dingin tak tersentuh yang arogan biasa orang ketahui bahkan bisa berperilaku bodoh didepannya saat ini. Apalagi semalam. Wajah khawatir dan panik itu bercampur jadi satu, tentang bagaimana Zakiel yang membentak seorang dokter untuk segera memeriksa dan memberi pertolongan pada perempuan itu. Mereka bukan menemui seseorang yang terluka akibat kecelakaan, hanya seorang perempuan yang hampir atau bahkan sedang dilecehkan tetapi pengaruhnya justru sangat kontras dengan sifat Zakiel.

Sebelumnya, Ozzie meragukan perasaan Zakiel. Cowok itu bukanlah tipe yang mudah menyimpulkan perasaannya sendiri, yah sejauh yang Ozzie tahu, ini pertama kalinya Zakiel sepeduli itu terhadap orang lain. Bahkan, ketika saudara tirinya dirundung pun, Zakiel enggan ikut campur. Sampai Ozzie memberi nasihat bahwa yang telah terjadi biarlah berlalu.

Dan, Ozzie harap temannya satu ini bisa benar-benar mengerti akan perasaannya sendiri. Jika memang perempuan itulah sebab dan jawaban, maka Ozzie akan mendukung dibelakang mereka.

“Setelah dia tahu, lo siap nerima kalau harus dibenci?” Kalau-kalau perempuan itu sadar dan menyimpulkan yang tidak baik dan benar. Ozzie hanya menguji sampai mana ketahanan pendirian Zakiel berakhir. Cowok itu tersenyum kecil, tetapi bukan sekedar senyum, ada sikap menantang terselimuti. Tetapi apa yang dia pikirkan justru runtuh ketika mendengar jawaban Zakiel.

“Dia bisa apa?” Zakiel mengibaskan tangan ke arah wajah Ozzie. Perasannya berdesir aneh. Sehingga cowok itu mengusap leher belakang guna meringankan sesuatu yang bergejolak. Lalu sorot matanya dipenuhi obsesi, “Hidup dia, punya gue.” Seringai jahat itu membuat Ozzie menyipitkan mata tak suka.

“Stress. Jangan sampe tingkah over lo ini bikin dia nggak nyaman.”

“Keluar.” Terasa lebih dari cukup untuk mereka berbincang. Zakiel membukakan pintu kamarnya, isyarat mengusir yang tidak bisa dikatakan baik, sebab terlalu memaksa. Lagi, Ozzie menatapnya sinis. Bagaimana bisa dia bersikap kasar seperti itu pada seorang tamu. Bahkan ketika sampai, kehadiran Ozzie seperti transparan—diabaikan begitu saja meskipun Ozzie membuntuti kemana Zakiel pergi, tentu saja kecuali kamar mandi.

Ozzie menjentikkan kedua jarinya setelah mengingat sesuatu yang disampaikan dokter—wanita paruh baya itu terlalu takut dengan tekanan yang diberikan Zakiel, maka dari itu dia memberitahu pada Ozzie sebagai perantara untuk menyampaikan. “Oh, gue lupa bilang ini diawal. Mungkin dia bakal agak traumatis setelah apa yang dialami, jangan terlalu maksain kehendak lo. Dia butuh waktu.”

“Gue tau.”

Karena sejak awal melihatnya pun, dia membuat janji dengan dirinya sendiri yang disetujui hati saat itu juga, dengan menjadi pelindung bayangan sosok yang kini sedang terbaring nyaman di kasurnya.

“Cari mereka. Kasih tau konsekuensi apa yang didapat kalau berani ganggu punya gue.”

Ozzie mengangguk serta tersenyum senang. Malam ini mungkin dia akan 'bermain' dengan beberapa 'mainan' baru, sungguh menyenangkan baginya. “Sesuai arahan tuan muda.” Kemudian hilang dibalik pintu.

mon chériTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang