BAB 27. MASUK PENJARA
"Benar-benar gila si Yuda itu, sudah kerjanya tidak becus, korupsi juga, main perempuan, tukang selingkuh, eh sekarang malah gadai mobil kantor." Fera yang tengah mengambil minum mendengar hal itu saat makan siang. Ia lekas beranjak dari sana dan berkumpul lagi dengan rekan sejawatnya.
"Eh, Fer, udah dengar belum berita mantan suamimu itu?" Irma berbisik sembari menyuap makan siangnya.
"Apa?" Ia meneguk air dalam gelasnya lalu menaruhnya di meja dan menoleh.
"Yuda mau dilaporkan ke kantor Polisi."
Fera mengangguk-angguk, tanpa menunjukkan rasa keterkejutan. "Oh, baguslah. Itu lebih baik dari pada dia berkeliaran mencari wanita-wanita cantik." Ia menjawab sekenanya sembari menyuap nasi ke mulutnya.
Irma melongo. "Lo nggak kaget?"
"Nggak tuh, buat apa?" Ia nampak santai sekali. Membuat rekan-rekannya sampai kehilangan kata-kata. Tapi bukan Irma namanya kalau diam begitu saja. "Lo udah tahu ya?"
"Ya, udah, dari Kakak kan?" Ia nyengir kuda dan kembali memakan nasinya.
"Ih, sebenci itu ya lo sama suami lo?"
"Ya, begitulah."
Irma menggeser duduknya agar lebih dekat pada Fera, kemudian berbisik. "Separah apa kelakuan dia saat jadi suami lo?"
Fera menghentikan aktifitas makannya, meraih tisu dan membersihkan sudut bibirnya yang agak kotor. "Mau tahu banget?" Sontak semuanya langsung mengangguk kompak. Membuat Fera terkekeh sebelum bercerita. "Jadi, dia itu nggak cinta aku, KDRT dan juga selingkuh."
Tiga jawaban itu sudah menguak semuanya, walau tidak dijelaskan secara gamblang tapi semuanya bisa menebak separah apa dan sesakit apa hati Fera hingga ia nekat memproses perceraian seorang diri dan bahkan mempermalukan suaminya di hadapan semua orang hingga di pecat secara tidak hormat. Irma menepuk pundak sang sahabat. "Gue salut sama lo, lo hebat banget."
Fera terkekeh. "Terima kasih."
"Gua bakal dukung lo pokoknya, jangan ragu soal itu."
"Terima kasih ya, Kak. Dan kalian semua atas dukungannya. Bahkan masih menerima aku yang sempat di fitnah waktu itu. Mata mereka mendadak berkaca-kaca berjamaah.
***
Di tempat lain, Yuda yang sudah babak belur, kembali ke rumah sakit. Ia mengaduh kesakitan tanpa ada orang yang peduli. Semua nampak sibuk masing-masing, andai masih ada Fera tentu dialah orang pertama yang akan sibuk dan khawatir padanya. Jika mengingat kenangan dulu, saat dirinya terjatuh dari tangga karena terpeleset, ia langsung berlari dan mengobati lukanya dengan begitu hati-hati dan penuh kasih. Walau tetap saja kena omel karena mengira sang istri sengaja menaruh minyak di sana. Walau akhirnya ia tahu jika itu adalah kerjaan sang ibu dan adiknya ia tetap tidak membela atau meminta maaf.
Dan kini, dirinya harus menanggung rasa sakitnya sendiri sembari menemani dua orang sekaligus. "Yuda, Mama mau makan ayam goreng, Mama lapar." Sang ibu meminta membuat Yuda harus menurut. Ia pun pergi ke bawah dan mencari pesanan sang ibunda tercinta. Baru saja kembali dan menyuapi, adiknya—yang satu kamar dengan sang ibu—merengek juga. "Kak, aku pengen nasi padang, perutku lapar banget."
"Ya ampun, kenapa nggak sekalian sih?" Ia kesal sembari memegangi pipinya yang bengkak. Padahal dirinya saja tidak ditanya kenapa wajahnya lebam, sungguh tidak perhatian.
"Ih, Kakak kok gitu sih, aku tuh laper, orang sakit butuh asupan makanan biar cepat sehat. Ayolah, Kak."
Yuda mendengkus kesal. "Kamu nggak lihat apa, wajah Kakak juga babak belur begini, boro-boro kamu tanya kondisi Kakak, apa penyebabnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...