BAB 34. MEREBUT KAMAR
Gisel masih cemberut di ruang tamu, tangannya sibuk memainkan ponsel yang sunyi—entah kenapa saat suasana hatinya kacau tidak ada satu pun yang menghubungi—ia benar-benar kesal dan tidak tahu harus berbuat apa. Heni yang melihat hal itu lekas mendekat, ia membawa jus alpukat favorit sang putri. Ia sedikit membunguk, memberikan gelas berisi cairan kental dari olahan buah yang seperti mentega tersebut. Gisel menatapnya sejenak sebelum akhirnya menerima dan meneguk sedikit. Barulah sang ibu duduk di sisinya. "Kenapa sih, kok masih cemberut aja?"
"Kok masih tanya sih, sudah jelaskan masalahnya apa?!" jawabnya ketus. Ia meneguk kembali jus itu hingga dua kali tegukan.
"Sudahlah, mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur, kita tinggal dukung dan tetap dapat uangkan?"
Mendengar itu sontak Gisel menatap tajam sang ibu kemudian membantin gelar berisi jus alpukat yang masih tersisa setengah, hingga berceceran di lantai dan bahkan mengenai kaki Heni. "Astaga, Gisel!" sentak wanita yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya dengan penuh cinta. "Apa yang kamu lakukan?!" Kembali ia berucap karena kesal, ia bahkan sampai berdiri karena kakinya terasa kotor dan lengket. Beruntung tidak ada beling yang menempel pada kulit putih mulusnya. "Keterlaluan kamu ya, masa begitu sikapmu pada Mama?!" Ia mulai risih dan hendak ke kamar mandi.
"Kata Mama, aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau!" teriaknya membuat langkah wanita itu terhenti lalu menoleh. "Kenapa, kenapa sekarang Mama bilang aku harus terima begitu saja, kenapa kita harus duduk menonton sementara yang menjadi tokoh utama adalah Fera bukan aku. Aku tidak sudi Mah, aku benci keadaan ini. Aku ingin menjadi tokoh utama, aku ingin semua mata tertuju padaku, tidak pada Fera atau orang lain. Pokoknya Mama harus cari cara agar yang menikah dengan David adalah aku bukan Fera!" Ia mengungkapkan isi hatinya sampai terengah-engah.
Heni menghela nafas, tidak tega juga melihat putrinya mulai depresi seperti itu. Ia pun kembali dan memeluk Gisel. "Ya, sayang, ya... Mama janji setelah ini akan menuruti semua keinginanmu, kita akan buat pernikahan mereka gagal dan kaulah yang menggantikannya, ya?"
"Sungguh?"
"Ya sayang, apapun akan Mama lakukan untuk kebahagiaanmu. Cukuplah kau hidup miskin dan susah dulu, sekarang Mama akan membuatku menjadi gadis yang paling bahagia di dunia." Mendengar itu Gisel senang bukan main, ia balas pelukan itu dengan penuh harapan. Heni harus bisa membuat putrinya tersenyum dan puas akan apa yang ia inginkan. Siapapun orangnya yang menghalangi maka akan berhadapan dengannya.
Baru saja mengharu-biru, mendadak Heni melepaskan pelukan mereka dengan kasar membuat sang putri sontak terdorong sampai terduduk di sofa. "Ih, Mama, apaan sih!" sentaknya kesal. namun, tatapan sang ibu membuatnya penasaran dan menoleh ke arah yang sama. "FERA!" pekiknya.
Gunardi dan Fera memasuki ruangan di mana terdapat ibu dan anak yang baru saja berdrama. Mereka gugup karena tak sangka jika sang ayah akan membawa kembali putri kandungnya. "Ke-kenapa ada Fera di sini?" tanya Gisel terbata-bata.
Pria tua itu melonggarkan dasinya, lalu duduk di sofa di susul Fera yang tak jauh darinya. "Putriku akan kembali tinggal di sini, toh ia sudah menjadi janda, tidak ada siapapun lagi. Tentulah kalian lebih tahu tentang itu daripada aku, ya kan?" tanyanya yang seolah meyindir membuat Gisel dan Heni tutup mulut rapat-rapat. "Kalian bersikap baik pada Fera, tahukan kenapa, apa harus dijelaskan lagi?" Keduanya menggeleng. "Bagus, dan biarkan Fera memilih kamarnya sendiri untuk tidur di rumah ini."
Mendengar itu Gisel sontak berdiri. "NGGAK! NGGAK ADA YANG BOLEH PAKAI KAMARKU!" teriaknya dengan wajah ketakutan. Heni sudah khawatir dan sesekali melirik sang suami namun respon Gunardi di luar prediksinya.
"Kenapa tidak boleh, itu adalah kamar Fera yang asli. Kalian sudah besarkan, apa harus merebutkan hal tidak penting?" Pria itu seolah tidak peduli dengan perasaan Gisel. Padahal dulu yang selalu dijaga perasaannya adalah anak tiri dibandingkan Fera yang anak kandungnya sendiri.
"Kenapa Papa jadi begini padaku, bukankah selama ini Papa selalu membelaku, mementingkan urusanku, kenapa sekarang berubah, Pah?" Air mata Gisel mengalir tiada henti seolah ia adalah manusia paling sengsara di muka bumi.
Gunardi menghela nafas, malas dengan drama itu. "Urus anakmu itu, kau tahukan tidak ada yang boleh mengusik putriku!" pria itu pergi begitu saja menuju kamar utama. Membuat Gisel dan Heni kesal bukan main.
Kini, mereka tinggal bertiga, Heni dan Gisel merubah ekspresi melas menjadi garang. Seolah mereka masih menganggap jika Fera masih sama. "Hey, janda mandul. Kenapa kau harus merayu Papa untuk kembali tinggal di rumah ini?" Heni menyudutkan tanpa mau tahu siapa yang mengajak lebih dulu. "Jangan kau kira, hanya karena kamu akan menikah dengan David jadi bisa seenaknya ya!"
Gisel langsung unjuk gigi. "Iya, lebay banget deh, Cuma karena mau nikah untuk yang kedua kalinya aja sampai harus balik ke rumah dan mengemis pada Papa, nggak tahu malu banget sih." Ia mengejek tanpa rasa belas asih.
Fera menghela nafas, ia sudah menduga jika kedua orang itu tidak akan pernah berubah apapun yang terjadi. Kecuali mereka sudah berada di ujung jurang. "Aku tidak peduli apa yang kalian katakan, sekarang aku lelah butuh istirahat." Ia berjalan santai menuju anak tangga, membuat kedua ibu dan anak itu geram bukan main. Gegas mereka menarik tas selempang kecil yang dikenakan oleh Fera, bukannya menahan diri, ia justru melepaskan tas tersebut dengan mudahnya membuat anak kesayangan Heni itu terjungkal. "Ups, sorry...." Ia terkekeh dan lekas menaiki tangga tanpa memperdulikan tas tersebut.
Gisel yang masih kesal langsung menggeledah tas tersebut yang rupanya kosong. Tidak ada isi apapun di dalamnya. Ia pun melemparnya ke depan. "Sialan, dia sengaja membuatku jadi seperti ini, Mah. Dia datang dengan persiapan matang untuk perang dengan kita!" Ia menggigit bibir bawahnya karena benar-benar geram.
Gisel naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Dan ia langsung histeris mendapati barang-barang pribadinya sudah berserakan di depan kamar. "MAMA, PAPA!!!" teriaknya.
Heni yang lebih dulu datang karena terkejut mendengar teriakan sang putri, ia takut jika Fera berbuat macam-macam karena nanti akan tidur di satu lantai yang sama. "Ada apa sayang, kenapa? Apa Fera menyakitimu?" tanyanya dengan panik, memeriksa seluruh tubuh sang putri sembari menuduh anak sambungnya yang bahkan tidak terlihat batang hidungnya.
Gunardi tak lama muncul. "Ada apa ini, bisakah aku istirahat dengan tenang di rumah ini?" Ia benar-benar dibuat kesal oleh ulah sang putri sambung.
Gisel merengek. "Papa, lihat itu," adunya sembari memeluk lengan sang ayah kemudian menunjuk barang-barangnya yang berserakan di lantai. "Ini ulah Fera, Pah. Dia tega sekali padaku, padahal ini barang kesayanganku... bagaimana bisa dia melakukan ini padaku di hari pertamanya datang, Papa...." Ia menangis tersedu-sedu.
Jika dulu, pria tua itu akan menenangkan dan meminta sang istri untuk mengurus lalu ia pergi, kali ini tidak. Gunardi menghela nafas kasar kemudian melepaskan pelukan sang putri lalu menatapnya. "Fera rindu kamarnya, bisakah kau pindah ke kamar tempat Fera dulu?"
Gisel melotot. "Pah, mana mungkin aku tidur di gudang?!" pekiknya. Heni pun gegas memeluk sang putri dan melotot pada suminya.
"Jangan gila kamu ya, Pah. Kami sudah menuruti kemuanmu tapi tidak untuk kamar tidur anakku."
"Ya sudah, kalau begitu ke apartmenmu saja, bukankah kau lebih suka di sana, kamar ini pun jarang kau tempati, lalu kenapa diributkan saat Fera kembali dan ingin tidur di kamarnya sendiri?" Sang ayah lantas pergi begitu saja membuat Heni dan Gisel melongo sampai mengusap mata karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALAS DENDAM SANG ISTRI
RomanceFera tersenyum tipis lalu bangun dari duduknya, menyemprotkan parfum mahal yang jarang sekali ia pakai karena kata Yuda itu pemborosan. "Loh, kamu kok pakai parfum, sih? Mau ke mana, kalau nggak pergi nggak usah pakai begitu, boros banget. Parfum it...