Chapter 2

19.7K 1.2K 23
                                    

Happy reading

   "Peter, how many people live in this area?"

   "Menurut data ada sekitar 100 orang tinggal di sini dan kebanyakan dari mereka adalah warga yang sudah berusia," jawap Peter, sang asisten pribadi Xavian Montgomery. Matanya melirik ke arah tuannya dari cermin mobil.

   "Hmm...but most of them are hella rich, right?"

   "Benar tuan. Selain warga asli, kebanyakan yang berpindah masuk di sini adalah mereka yang mau menikmati masa masa tua mereka."

   Tidak salah mereka memilih menikmati hari tua di tempat ini.  Pemandangan gunung yang indah terlihat begitu jelas, tanaman yang menghijau dan sungai yang mengalir deras dan masih belum terkontaminasi sama sekali.

   Kawasan yang Xavian dan Peter maksudkan ialah Desa Seriu, desa yang terletak jauh dari kesibukan kota. Walaupun dipanggil desa, fasilitas di sini tidak seburuk yang dipikirkan. Ini karena sebahagian besar dari warganya memiliki perekonomian yang cukup baik dan separuh laginya ada masyarakat berpendapatan sedang.
  
     Persekitarannya masih hijau dan bersih. Jalannya sudah beraspal dan rapih. Rumah-rumah warga yang dikelilingi tumbuh tumbuhan hijau dibina sedikit agak jauh satu sama lain.

   "Tuan, kita sudah di rumah Pak Harun," kata supir menghentikan lamunan Xavian. Lelaki berusia 44 tahun itu hanya mengangguk dan keluar dari mobil bersama Peter. Mereka berdua melangkah mendekat ke pintu rumah apak Harun.

   "Permisi, selamat siang!" ucap Peter dengan nada sedikit tinggi. Mereka berdua berdiri tegap di depan rumah milik Pak Harun sambil menunggu pemilik rumah itu keluar.

   "Selamat siang!" ujar Peter sekali lagi. Tidak lama kemudian, pintu rumah itu pun dibuka oleh seorang wanita yang sudah berusia lingkungan 60an.

   "Selamat siang. Maaf, nenek lagi di belakang tadi. Kalian berdua cari siapa ya?"

   "Apa benar ini rumah Pak Harun? Saya Peter, dan ini majikan saya Pak Xavian Montgomery. Kami berdua datang ke sini mau bicara sama Pak Harun."

   "Oh, cari abah? Abahnya lagi ke kebun, ngambil pisang. Bentar lagi pulang. Kalian berdua masuk aja dulu sambil nunggu." Peter dan Xavian mengangguk perlahan dan langsung masuk ke dalam rumah sederhana milik Pak Harun. "Kalian mau minum apa? Es teh? Es jeruk?"

    "Es teh aja," jawap Peter. Xavian hanya diam dan membiarkan asistennya berbicara. Matanya tidak henti melihat kiri dan kanan, memerhati setiap bagian ruangan yang dihiasi lukisan dan tanaman rias.

   "Nenek sediain dulu ya."

   "Iya. Makasih."

***

   "Abah, itu mobil ciapa?" tanya Bam penasaran. Ia memeluk jantung pisang yang diberikan oleh abah sebagai imbalan ke kebun. Pipinya yang bulat juga semakin merah kerana terkena sinaran mentari.

   "Abah juga nggak tau Bam. Kayaknya ada tamu. Bam mampir dulu ya? Jangan pulang dulu."

   "Hmm, Bam juga mau ictilehat."

   "Masih kuat nggak ngangkat jantung pisangnya?"

   "Macih. Macih. Bam macih kuat," jawap Bam semangat.

   Abah tersenyum manis sambil mengelus kepala Bam. "Pintarnya mbul abah. Ayok, kita ke rumah.".

   "Go!" seru Bam lalu berlari kencang ke dalam rumah dengan jantung pisang yang masih dalam pelukannya. "Nek, Bam bawah picang! Bam mau num! Haucc!"

BAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang